Jakarta, CNBC Indonesia – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah sepanjang pekan ini. Rupiah bernasib serupa dengan mata uang Asia lainnya yang tidak berdaya di hadapan dolar AS.

Pada perdagangan akhir pekan, rupiah ditutup di Rp 14.835/US$. Melemah tipis 0,03% dari posisi hari sebelumnya.

Secara mingguan, mata uang Tanah Air terdepresiasi 1,16%. Padahal pekan sebelumnya rupiah mampu membukukan penguatan 1,51%.




Apa Boleh Buat, Dolar Terlalu Kuat…Sumber: Refinitiv

Meski melemah, tetapi depresiasi rupiah ternyata masih lumayan, tidak sedalam mata uang negara-negara tetangga. Yen Jepang, misalnya, melemah 2,48% sepanjang minggu ini dan jadi yang terlemah di Benua Kuning.

Sementara won Korea Selatan melemah 2,37%, yuan China melemah 1,52%, dan dolar Singapura melemah 1,52%.

Rupiah dan mata uang Asia lainnya kesulitan meladeni dolar AS yang sedang perkasa. Pekan ini, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 2,24%.

Sejak akhir 2021 (year-to-date), Dollar Index sudah melesat 12,51%. Dalam setahun terakhir, kenaikannya mencapai 15,4%.




dxySumber: Refinitiv

‘Beking’ dolar AS adalah ekspektasi kenaikan suku bunga acuan. Sejumlah pejabat teras bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) kembali menyuarakan perlunya kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut, meski inflasi Negeri Paman Sam melandai.

James Bullard, Presiden The Fed St Louis, mendukung kenaikan Federal Funds Rate sebanyak 75 basis poin (bps) dalam rapat bulan depan. Menurutnya, ekonomi Negeri Adikuasa masih cukup kuat untuk menghadapi kenaikan suku bunga acuan.

“Saya tidak melihat mengapa harus menunggu kenaikan suku bunga acuan sampai tahun depan,” tegasnya dalam wawancara dengan Wall Street Journal, seperti dikutip dari Reuters. Bullard menyebut suku bunga acuan pada akhir tahun bisa ke 3,75-4% dari posisi saat ini yang 2,25-2,5%.

Mary Daly, Presiden The Fed San Francisco, mengatakan kenaikan suku bunga acuan 50-75 bps dalam rapat Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) bulan depan adalah sesuatu yang masuk akal. Namun ini akan tergantung dari data yang ada, terutama inflasi dan ketenagakerjaan.

“Kami juga harus mempertimbangkan untuk tidak berlebihan dalam mengambil kebijakan,” ujar Daly kepada CNN Internasional, sebagaimana dilansir Reuters.

Pernyataan dari para pejabat teras The Fed itu kemudian menggerakkan pasar. Mengutip CME FedWatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate sebanyak 50 bps pada rapat 22 September 2022 adalah 44,5%. Sedangkan peluang kenaikan 75 bps ada di 55,5%. Bisa dibilang dua kemungkinan ini sama besarnya, tidak ada perbedaan yang mencolok.




fedSumber: CME FedWatch

“Retorika The Fed lebih cepat dari perkiraan semua orang. Suku bunga akan naik, suku bunga akan naik, suku bunga akan lebih tinggi,” tegas Jospeh Trevisasni, Analis Senior FXStreet.com yang berbasis di New York, seperti diberitakan Reuters.

Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengangkat imbalan investasi aset-aset berbasis dolar AS, terutama instrument berpendapatan tetap. Ini membuat permintaan dolar AS meningkat sehingga nilai tukarnya menguat. Jadi jangan heran kalau rupiah dan mata uang Asia berguguran.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Artikel Selanjutnya


Sedih, Rupiah Melemah 3 Bulan Beruntun…

(aji/aji)


Artikel ini bersumber dari news.google.com.

Baca Artikel Menarik Lainnya dari Customer.co.id di Google News