customer.co.idJakarta, CNBC Indonesia – Resesi sedang menjadi isu utama saat ini. Dampaknya pun cukup besar ke pasar finansial. Wall Street sebagai kiblat bursa saham dunia ambrol, begitu juga dengan mata uang selain dolar Amerika Serikat (AS).

Melansir data Refinitiv, indeks S&P 500 sepanjang tahun ini sudah jeblok lebih dari 25%, dan berada di level terendah sejak akhir 2020.

Sementara itu indeks dolar AS melesat sekitar 17% dan berada di level tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Meroketnya indeks dolar AS tersebut menjadi indikasi mata uang lainnya rontok.

Rupiah melemah sekitar 7%, rupee India dan peso Filipina bahkan menyentuh rekor terlemah sepanjang sejarah tercatat di Refinitiv.

Secara persentase, yen Jepang menjadi yang paling parah, merosot lebih dari 25% dan berada di level terlemah dalam 24 tahun terakhir. Kurs ringgit Malaysia juga berada di level terlemah sejak 1998, yuan China terlemah dalam 14 tahun terakhir.

Dari Eropa, poundstering juga menyentuh rekor terlemah sepanjang sejarah, sementara euro di level terendah 20 tahun.

Melihat pergerakan pasar finansial tersebut, investor sepertinya melihat sesuatu yang lebih besar dan lebih parah ketimbang resesi, yakni stagflasi. Tidak hanya pelaku pasar, para presiden atau pemimpin negara dan para pemangku kebijakan juga akan dibuat tidak bisa tidur nyenyak jika itu sampai terjadi.

Sebelumnya Presiden Joko Widodo berulang kali mengatakan kondisi ekonomi dunia makin tidak pasti. Bahkan tahun depan Jokowi sudah mewanti-wanti bahwa kondisi dunia dalam ‘awan gelap’ dan akan ada bada besar yang akan menghadang.

“Hati-hati ketidakpastian ini, mengenai ketidakpastian ini, dan tiap hari kita selalu diingatkan dan kalau kita baca baik di media sosial di media cetak, di media online semuanya mengenai resesi global, tahun ini sulit dan tahun depan sekali lagi saya sampaikan akan gelap, dan kita tidak tahu badai besarnya seperti apa sekuat apa tidak bisa dikalkulasi,” kata Jokowi saat Pengarahan Presiden kepada seluruh Menteri/Kepala Lembaga, Kepala Daerah, Pangdam dan Kapolda di JCC, Jakarta, Kamis (29/9).

Tidak seperti resesi yang sering terjadi, stagflasi cukup langka.

Istilah stagflasi pertama kali muncul pada 1970an, dan belum lagi pernah terjadi. Saat ini pun baru sebatas risiko stagflasi.

Stagflasi merupakan periode pelambatan atau stagnannya perekonomian disertai dengan inflasi yang tinggi. Sementara resesi merupakan kontraksi pertumbuhan ekonomi setidaknya dalam dua kuartal beruntun.

Efek keduanya sama-sama buruk bagi perekonomian maupun masyarakat, tetapi stagflasi bisa lebih parah.

Ketika inflasi tinggi dan produk domestik bruto (PDB) melambat atau stagnan, maka perlahan-lahan kondisi ekonomi akan semakin memburuk atau ‘mati pelan-pelan’.

Saat kondisi perekonomian memburuk, pemutusan hubungan kerja (PHK) akan terjadi secara masif, dan tingkat pengangguran akan meroket. Inflasi dan tingkat pengangguran yang tinggi bisa menjadi ciri khas dari stagflasi. Sebab, keduanya biasanya berkebalikan.

Ketika resesi misalnya, tingkat pengangguran akan tinggi tetapi inflasi rendah. Sebab, ketika banyak warga yang menganggur maka konsumsi rumah tangga akan menurun, demand pull inflation pun rendah.

Pasar tenaga kerja saat ini masih terlihat kuat, bahkan di beberapa negara seperti Australia justru mengalami kelangkaan tenaga kerja.

Stagflasi lebih sulit ‘disembuhkan’ ketimbang resesi. Sebab, para pembuat kebijakan harus bisa menyeimbangkan antara inflasi dan pasar tenaga kerja. Ketika inflasi tinggi maka suku bunga akan dikerek naik, tetapi risikonya pasar tenaga akan melemah dan tingkat pengangguran meningkat.

Sebaliknya, saat tingkat pengangguran tinggi yang dibutuhkan adalah suku bunga rendah, tetapi risikonya inflasi akan meningkat.

Yang menarik, ‘obat’ stagflasi yang paling mujarab adalah resesi.

“Satu-satunya obat untuk stagflasi adalah resesi,” kata David Wilcox, ekonom senior di Perterson Institute for International Economics, sebagimana dilansir The Washington Post, awal Juni lalu.

Ketika resesi terjadi demand juga akan melambat dan perlahan-lahan menurunkan inflasi.

Negara-negara Barat kini menjadi yang paling berisiko mengalami stagflasi. Inflasi di Amerika Serikat (AS) dan Ingggris berada di level tertinggi dalam 40 tahun terakhir.

Di zona euro, yang terdiri dari 19 negara, inflasi bahkan mencatat rekor tertinggi sepanjang masa.

Inflasi yang tinggi juga melanda belahan bumi lainnya. Australia misalnya, kemudian Singapura.

Di Indonesia sejauh ini inflasi mulai merangkak naik meski bisa dikatakan masih terkendali. Namun, patut menjadi perhatian bagaimana perkembangan inflasi ke depannya, apalagi setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi.

Selain itu, bank sentral AS (The Fed) dan beberapa bank sentral lainnya pada akhir tahun lalu melihat inflasi tinggi hanya bersifat sementara, sehingga menunda pengetatan moneter guna meredam inflasi. Alhasil, inflasi malah terus meroket.

TIM RISET CNBC INDONESIA

”Artikel ini bersumber sekaligus hak milik dari website cnbcindonesia.com. Situs https://customer.co.id adalah media online yang mengumpulkan informasi dari berbagai sumber terpercaya dan menyajikannya dalam satu portal berita online (website aggregator berita). Seluruh informasi yang ditampilkan adalah tanggung jawab penulis (sumber), situs https://customer.co.id tidak mengubah sedikitpun informasi dari sumber.”

Baca Artikel Menarik Lainnya dari Customer.co.id di Google News