customer.co.id – Setelah melalui badai pandemi penyakit virus corona (Covid-19), dunia belum akan baik-baik saja. Ada berbagai tantangan dan persoalan baru yang harus dihadapi di sektor ekonomi.

Inflasi tinggi sedang melanda banyak negara, yang direspon dengan kenaikan suku bunga agresif oleh bank sentralnya. Alhasil, resesi berjamaah akan terjadi pada tahun depan. Dunia bakal mengalami resesi. Bank Dunia pun sudah mengutarakan hal tersebut.

“Tiga ekonomi terbesar dunia-Amerika Serikat, China, dan kawasan Eropa- telah melambat tajam,” tulisnya dalam sebuah studi baru, dikutip Senin (10/10/2022).

Bank Dunia yakin pukulan moderat sekalipun akan memicu resesi global. Bank Dunia pun memperkirakan kenaikan suku bunga akan terus dilakukan hingga tahun depan. Namun, langkah ini tak akan cukup mampu membawa inflasi kembali ke tingkat sebelum pandemi Covid-19.

Lembaga internasional ini pun mengatakan bank sentral mungkin perlu menaikkan suku bunga dengan tambahan 2 poin persentase untuk meredam inflasi.

Tambahan dosis suku bunga tersebut berada di atas kenaikan 2 poin yang sudah terlihat di atas rata-rata tahun 2021.

Bank Dunia mengingatkan bahwa dosis lebih tinggi ini dapat memperlambat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global. Pada 2023, PDB dunia diperkirakan bisa susut menjadi 0,5% setelah terkontraksi 0,4%. Menurut Bank Dunia, ini akan memenuhi definisi teknis dari resesi global.

Stagflasi merupakan periode pelambatan atau stagnannya perekonomian disertai dengan inflasi yang tinggi. Sementara resesi merupakan kontraksi pertumbuhan ekonomi setidaknya dalam dua kuartal beruntun.

Efek keduanya sama-sama buruk bagi perekonomian maupun masyarakat, tetapi stagflasi bisa lebih parah.

Ketika inflasi tinggi dan produk domestik bruto (PDB) melambat atau stagnan, maka perlahan-lahan kondisi ekonomi akan semakin memburuk atau ‘mati pelan-pelan’.

Saat kondisi perekonomian memburuk, pemutusan hubungan kerja (PHK) akan terjadi secara masif, dan tingkat pengangguran akan meroket. Inflasi dan tingkat pengangguran yang tinggi bisa menjadi ciri khas dari stagflasi. Sebab, keduanya biasanya berkebalikan.

Stagflasi bisa berlangsung selama bertahun-tahun. Artinya jika benar terjadi, hingga masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berakhir pada 2024, maka stagflasi belum akan bisa dijinakkan. Pengganti Presiden Jokowi pun langsung akan menghadapi masalah tersebut.

Memang risiko Indonesia mengalami stagflasi kecil, tetapi negara-negara semacam Amerika Serikat dan Eropa bisa mengalaminya dan dampak buruknya juga akan terasa ke dalam negeri.

Lihat saja bagaimana efek dari risiko resesi berjamaah yang terjadi di Barat. Presiden Jokowi berulang kali menyebutkan itu bisa menjadi momok bagi Indonesia.

“Hati-hati ketidakpastian ini, mengenai ketidakpastian ini, dan tiap hari kita selalu diingatkan dan kalau kita baca baik di media sosial di media cetak, di media online semuanya mengenai resesi global, tahun ini sulit dan tahun depan sekali lagi saya sampaikan akan gelap, dan kita tidak tahu badai besarnya seperti apa sekuat apa tidak bisa dikalkulasi,” kata Jokowi saat Pengarahan Presiden kepada seluruh Menteri/Kepala Lembaga, Kepala Daerah, Pangdam dan Kapolda di JCC, Jakarta, Kamis (29/9).

Stagflasi lebih sulit ‘disembuhkan’ ketimbang resesi. Sebab, para pembuat kebijakan harus bisa menyeimbangkan antara inflasi dan pasar tenaga kerja. Ketika inflasi tinggi maka suku bunga akan dikerek naik, tetapi risikonya pasar tenaga akan melemah dan tingkat pengangguran meningkat.

Sebaliknya, saat tingkat pengangguran tinggi yang dibutuhkan adalah suku bunga rendah, tetapi risikonya inflasi akan meningkat.

Masyarakat akan merasakan dampak yang sangat berat. Tingkat pengangguran yang tinggi membuat pendapatan rendah, tetapi harga barang-barang sangat mahal yang tercermin dari inflasi yang tinggi.Risiko Indonesia mengalami stagflasi memang kecil, tetapi ketika negara Barat mengalaminya dampaknya akan terasa juga.

Ketika stagflasi terjadi, maka permintaan ekspor tentunya akan menurun. Memang porsi ekspor dalam produk domestik bruto (PDB) tidak sebesar konsumsi rumah tangga dan pembentukan modal tetap bruto (PMTB), tetapi efeknya bisa merembet kemana-mana.

Ketika permintaan ekspor menurun, sektor manufaktur akan terkena efek negatifnya. Sementara sektor manufaktur merupakan kontributor terbesar PDB berdasarkan lapangan usaha. Kontribusinya nyaris mencapai 20%.

Artinya ketika permintaan ekspor menurun, aktivitas sektor manufaktur tentunya juga akan melambat. Ada risiko akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).

Selain itu, stagflasi yang terjadi bisa memicu meroketnya indeks dolar AS, sebab bank sentral AS (The Fed) terus menaikkan suku bunga guna menurunkan inflasi. Dolar AS pun merupakan aset safe haven, sehingga menjadi primadona. Indeks dolar AS mencapai puncak tertigginya di kisaran 164 pada Februari 1985.

Jika kondisi tersebut kembali terjadi, maka rupiah pun berisiko terpuruk.

Pada masa awal stagflasi di Amerika Serikat, indeks dolar AS mengalami penurunan. Tetapi, setelahnya kembali meroket sejak Januari 1980, dan terus menanjak. Rekor tertinggi indeks dolar AS tercatat sebesar 164,72 yang dicapai pada tahun 1985. Ini membuktikan stagflasi bisa terjadi sangat panjang dan susah ‘disembuhkan’.

Ketika rupiah misalnya jeblok, maka harga impor akan semakin melonjak, dan ini bisa memicu inflasi tinggi di dalam negeri.

Ketika inflasi terus menanjak, maka daya beli masyarakat akan berkurang. Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi akan melambat.

”Artikel ini bersumber sekaligus hak milik dari website cnbcindonesia.com. Situs https://customer.co.id adalah media online yang mengumpulkan informasi dari berbagai sumber terpercaya dan menyajikannya dalam satu portal berita online (website aggregator berita). Seluruh informasi yang ditampilkan adalah tanggung jawab penulis (sumber), situs https://customer.co.id tidak mengubah sedikitpun informasi dari sumber.”

Baca Artikel Menarik Lainnya dari Customer.co.id di Google News