customer.co.id – Pemerintah masih menerapkan skema pay as you go dalam sistem pembiayaan pensiun aparatur sipil negara (ASN)/pegawai negeri sipil (PNS). Skema ini membebani APBN dalam jangka panjang, sebab manfaat pensiun secara penuh dibayarkan dibayarkan oleh APBN.

Adapun skema pay as you go diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai, yang mengatur program Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Hari Tua (JHT) untuk PNS.

Pada skema tersebut, pemerintah baru menyiapkan dana pensiunan ketika PNS tersebut memasuki masa pensiundengan besaran yang didasarkan pada formula dalam peraturan pemerintah.

Artinya, sedari awal PNS bekerja, pemerintah sebagai pemberi kerja telah menjanjikan PNS tersebut akan mendapatkan dana pensiun. Namun, selama PNS produktif berkerja, pemerintah tidak memiliki anggaran untuk menyisihkan dana pensiun setiap bulannya bagi PNS tersebut.

Kondisi inilah yang membebani APBN, terlebih saat ini pensiunan PNS pusat dan PNS daerah serta TNI/Polri seluruhnya ditanggung oleh pemerintah pusat.

Menurut Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) kewajiban jangka panjang program pensiun pemerintah mencapai Rp 2.929 triliun. Terdiri dari kewajiban untuk PNS pusat Rp 935,6 triliun dan PNS daerah Rp 1.994 triliun.

Adapun berdasarkan realisasi pembayaran pensiunan PNS setiap tahunnya memang terus bertambah. Pada 2018 realisasi pembayaran pensiunan hanya Rp 90,82 triliun, 2019 menjadi sebesar Rp 99,75 triliun, 2020 sebesar Rp 104,97 triliun, 2021 sebesar Rp 112,29 triliun, serta 2022 diperkirakan mencapai Rp 119 triliun.

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Isa Rachmatarwata mengatakan, biaya pensiunan yang terus meningkat itu dikarenakan semakin bertambahnya jumlah PNS yang pensiun, seiring pula dengan usia harapan hidup yang semakin panjang.

“Besaran manfaat pensiun setiap bulan semakin bertambah, itu yang seringkali membuat kita cemas. Makannya di skema pay as you go ini semakin membuat kita worry (khwwatir),” ungkap Isa saat berdiskusi dengan media di kantornya, pada Senin (29/8/2022) lalu.

Saat ini PNS memang dikenai potongan sebesar 8 persen per bulan dari gajinya, dengan rincian 4,75 persen untuk program Jaminan Pensiun dan 3,25 persen untuk program Jaminan Hari Tua (JHT).

Iuran 4,75 persen itu diakumulasikan sebagai Akumulasi Iuran Pensiun (AIP) dan bukan dana pensiun, kemudian iuran yang 3,25 persen dikelola oleh PT Taspen. Nantinya, PNS akan menerima pembayaran AIP dan iuran yang dikelola di Taspen saat PNS pensiun.

Itu artinya PT Taspen memang tidak berkewajiban membayarkan pensiunan PNS, melainkan pemerintah sebagai pemberi kerja. Adapun dengan skema yang berlaku saat ini, pemerintah membayarkan manfaat pensiunan setiap bulannya kepada PNS yang pensiun.

Namun, pemerintah berencana mengganti skema pay as you go menjadi fully funded. Lewat skema fully funded ini, maka pemerintah akan memiliki anggaran yang khusus untuk menyisihkan dana pensiun secara sistematis setiap bulannya sejak PNS tersebut mulai bekerja.

Selain itu, ketika nantinya skema fully funded berlaku, pemerintah akan membentuk lembaga dana pensiun yang khusus mengelola pensiunan PNS. Nantinya, potongan iuran dari gaji PNS yang selama ini dikelola Taspen akan dipindahkan ke lembaga tersebut.

Maka nantinya iuran yang dipotong dari gaji PNS dan iuran yang dibayarkan pemerintah sebagai pemberi kerja itulah, yang akan dikelola oleh lembaga dana pensiun.

Dengan demikian, ketika PNS tersebut mencapai usia pensiun, maka pembayaran pensiunan diberikan oleh lembaga dana pensiunan secara penuh, bukan lagi mengandalkan APBN seperti yang diterapkan pada saat ini.

“Kalau sudah dibentuk dana pensiun, pemerintah akan membayarnya itu iuran untuk PNS yang sedang bekerja ke dana pensiun. Lalu yang bayar pensiunannya (ketika PNS pensiun) yah dana pensiunan. Jadi pemerintah enggak lagi membayarkan manfaat pensiunan,” jelas Isa.

Meski begitu, Isa belum bisa memastikan kapan pembentukan lembaga ini terealisasi. Lantaran saat ini perubahan dari skema pensiunan PNS pay as you go menjadi fully funded, masih terus dikaji oleh pemerintah, walaupun wacana perubahan ini sudah mencuat sejak tahun 2014.

Menurut Direktur Harmonisasi Peraturan Penganggaran Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Didik Kusnaini, kendala skema fully funded belum juga diterapkan karena banyaknya persoalan yang harus dipertimbangkan, mulai dari beban fiskal hingga manfaatnya bagi PNS.

“Di UU Nomor 5 tahun 2014 sebenarnya sudah mengamanatkan. Namun untuk melakukan perubahan, banyak yang harus dipertimbangkan, beban fiskalnya seperti apa, manfaatnya untuk PNS seperti apa, beban dan iurannya seperti apa, dan sebagainya,” ungkap dia saat ditemui di kantornya, Senin (29/8/2022).

Terlebih pemerintah juga berencana kewajiban pembayaran pensiunan daerah tidak lagi ditanggung pemerintah pusat. Oleh sebab itu, perubahan skemanya memang memerlukan banyak waktu karena berkaitan pula dengan nilai kewajiban pembayaran pensiunan yang besar.

“Jadi pemikirannya sudah dikaji sejak dulu, cuma itu tadi mengubah sistem mana yang cocok, kemudian yang dampak fiskalnya terukur, itu kan perlu waktu lama, melibatkan uang yang besar, ratusan triliun dan sebagainya, jadi di 2014 sudah dipikirkan, kemudian ini dikaji terus,” tutup Didik.

Baca Artikel Menarik Lainnya dari Customer.co.id di Google News