customer.co.id – Emas akan menghadapi periode genting pada pekan ini. Pengumuman inflasi Amerika Serikat (AS) dan keluarnya risalah rapat bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan menentukan apakan emas masih bisa bertahan di tengah badai ketidakpastian global saat ini.

Seperti diketahui, The Fed akan mengeluarkan rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada Kamis dini hari pekan ini (13/10/2022). Pada Kamis malam harinya, Biro Statistik AS akan mengumumkan data inflasi September.

Kedua data tersebut akan menjadi pegangan investor mengenai arah The Fed ke depan. Jika inflasi AS lebih kencang dari Agustus (8,3% year on year/yoy) dan risalah The Fed masih menunjukkan sinyal hawkish maka harga emas hampir pasti akan tenggelam.

Sebaliknya, jika inflasi melandai cukup dalam maka ada harapan emas akan menguat. Konsesus pasar memperkirakan inflasi September akan berada di 8,1% (yoy).

“Pelaku pasar berharap ada penurunan permintaan masyarakat sehingga berdampak kepada suku bunga acuan. Sebagian pelaku pasar masih ada yang bertaruh jika The Fed akan melonggarkan kebijakan moneternya. Namun, jika inflasi meningkat maka emas akan ada dalam masalah,” tutur analis dari OANDA Edward Moya, dikutip dari Kitco News.

Seperti diketahui, data inflasi menjadi salah satu pertimbangan utama The Fed dalam menentukan kebijakan moneternya. Jika inflasi masih tinggi, The Fed diperkirakan masih akan melanjutkan kebijakan hawkishnya dalam waktu lama.

Sepanjang tahun ini, emas sangat terpengaruh oleh data ekonomi AS dan kebijakan The Fed. Emas selalu ambruk setiap kali inflasi AS melonjak. Emas juga terpuruk setiap kali The Fed mengerek suku bunga acuan.

Kenaikan The Fed akan membuat dolar AS melambung dan yield surat utang pemerintah AS melonjak. Kondisi ini tidak baik bagi emas karena penguatan dolar membuat emas semakin mahal. Emas juga tidak menawarkan imbal hasil sehingga kenaikan yield surat utang pemerintah AS membuat emas tidak menarik.

Kenaikan suku bunga acuan The Fed bahkan menghapus status emas sebagai aset lindung nilai di saat inflasi melonjak. Sang logam mulai tetap jeblok di saat inflasi global melambung karena kalah oleh dampak kenaikan suku bunga.

Sejak The Fed mengerek suku bunga pada 17 Maret 2022, harga emas sudah anjlok US$ 243 per troy ons atau sekitar 12%.

“Trader emas lebih fokus untuk melihat dampak kebijakan The Fed dari pada faktor geopolitik,” tutur analis Kitco Metals Jim Wyckoff, kepada Reuters.

Namun, Moya mengingatkan jika emas masih bisa berpeluang menguat. Salah satu faktornya adalah rally jangka pendek yang dilakukan investor yang mencari keuntungan (profit taking). Faktor inilah yang masih membuat emas menguat pada perdagangan Senin pagi hari ini.

Merujuk data Refinitiv, harga emas di pasar spot internasional pada Senin (10/10/2020) pukul 05: 49 WIB ada di posisi US$ 1.698,82 per troy ons. Emas menguat 0,25% dibandingkan pada perdagangan terakhir pekan lalu, Jumat (7/10/2022).

Penguatan ini menjadi angin segar setelah emas terpuruk sepanjang Rabu-Jumat pekan lalu. Dalam sepekan, harga emas masih melandai 0,02% secara point to point. Dalam sepekan, emas juga masih melemah 1% sementara dalam setahun anjlok 3,1%.

TIM RISET CNBC INDONESIA

”Artikel ini bersumber sekaligus hak milik dari website cnbcindonesia.com. Situs https://customer.co.id adalah media online yang mengumpulkan informasi dari berbagai sumber terpercaya dan menyajikannya dalam satu portal berita online (website aggregator berita). Seluruh informasi yang ditampilkan adalah tanggung jawab penulis (sumber), situs https://customer.co.id tidak mengubah sedikitpun informasi dari sumber.”

Baca Artikel Menarik Lainnya dari Customer.co.id di Google News