PERBINCANGAN ihwal simalakama subsidi energi sudah berlangsung sejak dua dekade terakhir. Perdebatan soal itu makin panas, khususnya saat ada dua momen besar: menjelang hajatan pemilu dan ketika harga minyak dunia melambung. Terus-menerus seperti itu hampir seperti jalan buntu. Kuldesak.
 
Disebut simalakama, karena sejak awal 2004, negeri ini sudah menjadi importir bersih minyak bumi, setelah sebelumnya kita menjadi eksportir. Sejak awal 2000 itu, produksi minyak mentah kita terus turun. Sebaliknya, konsumsi energi kian bertambah. Jadilah situasi jomplang, tidak seimbang antara produksi dan konsumsi. Besar pasak daripada tiang.
 
Hingga saat ini pun, rata-rata kita kekurangan minyak untuk kebutuhan konsumsi BBM mencapai 400 ribu barel tiap hari. Maka, impor minyak menjadi jalan keluar satusatunya. Sayangnya, begitu minyak impor itu masuk ke dalam negeri, harus dijual dengan harga murah kepada konsumen. Selisih harga itu lalu disubsidi APBN. Ironisnya lagi, lebih dari separuh penikmat subsidi BBM itu ialah orang mampu, bahkan orang kaya.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Maka, saat subsidi hendak dicabut karena anggaran negara makin berat, simalakama mulai muncul. Dulu, hitung-hitungan mencabut subsidi lewat penaikan harga BBM dan tarif listrik lebih didominasi isu munculnya guncangan politik yang dikhawatirkan mengganggu stabilitas ekonomi.
Atau, karena kebijakan mengikis subsidi energi tidak populer, hitung-hitungannya pun menjadi njlimet. Kalkulasi popularitas politik menjadi taruhannya. Maka, tindakan yang diambil pun amat ‘hati-hati’, majumundur, ragu-ragu. Kini, bukan lagi isu politik yang terlalu dikhawatirkan bakal muncul dari pencabutan dan pengalihan subsidi energi, melainkan lebih rumit lagi, yakni isu ekonomi.
 
Apa itu? Saat ini perekonomian kita baru saja bangkit. Baru siuman dari hantaman pandemi covid-19. Angkaangka statistik mengonfirmasikan mulai siumannya ekonomi kita itu. Per Maret 2022, misalnya, persentase kemiskinan di Indonesia akhirnya turun di bawah 10 persen, setelah sebelumnya melonjak imbas pandemi korona.

Penurunan angka kemiskinan ini tidak lepas dari pertumbuhan ekonomi yang ada di atas 5 persen selama trimester pertama dan kedua tahun ini, jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
 
Sebagai salah satu eksportir batu bara terbesar di dunia, Indonesia mendapatkan rezeki nomplok dari lonjakan harga komoditas di awal 2022 akibat tensi geopolitik Rusia dan Ukraina. Rezeki komoditas itu menjadi pelatuk.
 
Bahkan, terkait dengan pertumbuhan ekonomi itu, Bank Dunia meramalkan perekonomian Indonesia tumbuh 5,1 persen pada 2022 dan 5,3 persen pada 2023. Alhasil, dari sandaran statistik tersebut kita boleh berbangga hati bahwa ekonomi kita cukup moncer jika dibandingkan dengan negara-negara lain di berbagai belahan dunia.
 
Namun, capaian pertumbuhan ekonomi dalam dua kuartal di 2022 itu banyak ditopang konsumsi masyarakat. Kontribusinya lebih dari separuh. Di satu sisi, itu pertanda bahwa daya beli masyarakat mulai menggeliat. Roda ekonomi berputar lagi. Namun, di sisi lain, pertumbuhan ekonomi yang terlalu mengandalkan konsumsi amat rentan terhadap guncangan.
 
Sayangnya, kenaikan harga energi menjadi bayangbayang yang menghantui pertumbuhan ekonomi kita. Pula, mengancam kesejahteraan rakyat, khususnya mereka yang tidak berpunya.
 
Pada saat yang sama, strategi pemerintah yang mengandalkan subsidi belum tentu bisa menahan gejolak perekonomian yang mungkin muncul dari lonjakan harga energi. Subsidi energi akan membengkak hingga lebih dari Rp500 triliun, nyaris seperempat APBN kita. Itu yang membuat situasi ‘sesak napas’ anggaran negara bisa muncul tiba-tiba.
 
Itulah simalakama. Untuk jangka pendek, menekan subsidi akan memukul daya beli dan menggoyahkan kaki-kaki pertumbuhan ekonomi yang mulai kukuh. Namun, jika hal ini tidak diatasi, dalam jangka panjang kuda-kuda ekonomi akan rapuh lagi. Bisa jadi penurunan angka kemiskinan yang ada pun hanya bersifat sementara. Tidak langgeng.
 
Lalu, bagaimana simalakama subsidi ini diatasi? Sudah banyak resep diajukan para ahli dan sejumlah lembaga penelitian di bidang ekonomi. Intinya ialah subsidi selama ini lebih banyak dinikmati mereka yang tidak berhak. Jika usulan-usulan itu diringkas, kira-kira benang merahnya: realokasi subsidi dan mengganti subsidi dengan program bantuan jangka panjang secara tepat sasaran.
 
Laporan Bank Dunia mengenai prospek ekonomi Indonesia, terbit pada Juni 2022, juga menyampaikan hal serupa. Menurut temuan dalam laporan tersebut, subsidi energi lebih menguntungkan rumah tangga kalangan menengah dan atas. Pasalnya, golongan inilah yang mendominasi konsumsi bahan bakar.
 
Kalangan ini menyerap sekitar 42 persen-73 persen subsidi BBM. Menimbang hal-hal tersebut, Bank Dunia mendorong pengalihan subsidi kepada bantuan sosial untuk masyarakat miskin, rentan, dan kalangan calon kelas menengah. Pengalihan ini juga dapat mengefisienkan fiskal negara.
 
Usulan memang sudah ada di atas meja. Namun, lagi-lagi jalan menyelesaikan simalakama tidak sederhana menggaruk kepala. Data soal siapa yang berhak memperoleh alokasi bantuan dan realokasi subsidi belum sepenuhnya tersinkronisasi. Jangankan bicara big data atau metadata, soal sinkronisasi data saja belum sepenuhnya selesai.
 
Namun, tidak apa-apa. Lebih baik terlambat daripada tidak berbuat apa-apa. Semoga tidak lagi ada simalakama. Siapa tahu.
 

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Baca Artikel Menarik Lainnya dari Customer.co.id di Google News