customer.co.id – Elon Musk , selaku pemilik Twitter yang baru, mencuitkan sebuah konspirasi anti LGBT pada Minggu, 30 Oktober 2022.

Cuitan itu terkait insiden yang terjadi pada malam ketika suami Ketua DPR AS, Nancy Pelosi , diserang.

Seolah menggarisbawahi kekhawatiran Elon Musk tentang masa depan platform setelah dia bersumpah itu tidak akan menjadi ‘pemandangan neraka gratis untuk semua’.

Elon Musk , menyatakan bahwa dirinya seorang yang menjunjung tinggi kebebasan berbicara untuk menanggapi mantan kandidat presiden dari Partai Demokrat, Hillary Clinton.

Hillary Clinton pernah mengunggah cuitan untuk menarik batasan antara Partai Republik yang mempromosikan teori konspirasi tak berdasar, serta kasus serangan kekerasan terhadap Paul Pelosi, suami dari Nancy Pelosi yang terjadi di San Francisco.

Ada kemungkinan kecil mungkin ada lebih banyak cerita ini daripada yang terlihat,” kata Elon Musk kepada Hillary Clinton.

Media mingguan sudah mengunggah berita tentang teori konspirasi lain di masa lalu.

Teori konspirasi tersebut termasuk bahwa sosok ganda untuk Clinton dikirim ke acara debat dengan Donald Trump selama kegiatan kampanye pemilihan umum pada 2016, dikutip menurut Los Angeles Times.

Cuitan Elon Musk itu pun dengan cepat menjadi titik fokus bagi para kritikus yang gugup mengenai tujuan ia mengakuisisi Twitter , platform media sosial terkemuka terhadap wacana dan diplomasi global.

Pasalnya, cuitan Elon Musk yang dinilai blak-blakan dan kontroversial sudah menimbulkan masalah di masa lalu.

Elon Musk pun telah bersumpah untuk memberhentikan moderasi konten, dan berencana lebih mengandalkan algoritma komputer daripada monitor manusia.

Partai Konservatif pun mengatakan moderasi Twitter di masa lalu telah secara tidak adil menargetkan pandangan mereka.

Elon Musk menulis sebuah pesan yang dimaksudkan untuk meyakinkan pengiklan Twitter yang gelisah tentang kepemimpinannya.

Elon Musk menyebutkan bahwa awal pekan ini dirinya menyadari Twitter tidak bisa menjadi neraka yang bebas untuk semua di mana apa pun dapat dikatakan tanpa konsekuensi.

Namun, para pencela turut memperingatkan bahwa tanpa standar, dunia digital berisiko dibanjiri informasi yang salah.

Informasi salah tersebut memungkinkan konsekuensi yang sangat berbahaya bagi demokrasi dan bagi kesehatan masyarakat.***

Baca Artikel Menarik Lainnya dari Customer.co.id di Google News