Di tengah kampanye “Kebaya Goes to UNESCO,” patut dicatat, bukan hanya perempuan Indonesia yang gemar mengenakan kebaya. Pemerintah menegaskan bahwa jika kebaya Indonesia mendapat pengakuan dari UNESCO, bukan berarti Indonesia berhak mengklaim hak kekayaan intelektual atas warisan budaya tak benda tersebut.

Gerakan pakai kebaya menggema menjelang hari kemerdekaan RI, dari Indonesia hingga ke Amerika Serikat (AS). Ratusan perempuan Indonesia berkebaya berpawai di pusat kota Washington DC pekan lalu (7/8).

“Ikut melestarikan kebaya sebagai warisan nenek moyang kita yang patut kita jaga dan tentunya jangan sampai punah,” kata Duta Besar RI untuk Amerika, Ayu Heni Roeslani, yang memimpin pawai “Cantik Berkebaya” itu.

Kegiatan itu bertujuan mengampanyekan #KebayaGoesToUNESCO, agar kebaya diakui sebagai intangible cultural heritage (ICH) atau warisan budaya tak benda oleh Badan PBB urusan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan itu. Setiap tahun, organisasi tersebut merilis Daftar ICH dari berbagai negara.

Kebaya Belum Dinominasikan ke UNESCO

Pemerintah Indonesia belum menominasikan kebaya ke UNESCO, kata Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid kepada VOA. “Belum didaftarkan secara resmi.”

Saat ini, prosesnya masih dalam tahapan penyusunan dossier atau kumpulan dokumen pendukung oleh komunitas, termasuk Perempuan Berkebaya Indonesia (PBI).

Pendiri PBI Rahmi Hidayati mengatakan, “Kita perlu menunjukkan bahwa kebaya itu dipakai oleh berbagai generasi. Yang namanya warisan itu kan nggak cuma generasi tuanya aja atau neneknya aja yang pakai, tapi ibunya juga pakai, anaknya pakai, cucunya pakai. Itu yang harus diperlihatkan di dalam foto-foto pelengkap dossier itu.”

Selain foto, dossier itu juga berisi narasi tentang sejarah kebaya di Indonesia, kajian ilmiah, tulisan atau buku, video, dan sebagainya. “Harus memperlihatkan bahwa kebaya memang berasal dari Indonesia,” ujar penggagas gerakan “Selasa Berkebaya” ini kepada VOA.

Kebaya Tak Hanya Diapresiasi di Indonesia

Tapi, negara yang warganya mengenakan dan melestarikan kebaya, tak hanya Indonesia. Negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam juga memiliki kebaya khas masing-masing.

“ICH pada dasarnya dimiliki oleh orang-orang yang mempraktekkannya,” kata Kepala Unit Budaya UNESCO Jakarta Moe Chiba kepada VOA. “Orang-orang melakukan perjalanan lintas batas. Jaman dulu belum ada perbatasan negara, jadi masyarakat bisa bergerak dengan bebas. Sangat umum melihat tradisi atau warisan budaya yang mirip atau hampir sama (di negara berbeda). Itulah keindahan dari ICH.”

Negara-negara yang memiliki suatu tradisi atau budaya yang sama, bisa bergabung untuk menominasikan budaya itu ke UNESCO.

Seorang turis berfoto di etalase Nyonya Kebaya Malaysia di Kuala Lumpur, 15 April 2003. (REUTERS/Bazuki Muhammad BM/RCS)

Sebagai contoh, ritual dan permainan tarik tambang terdaftar sebagai warisan budaya dari empat negara: Kamboja, Filipina, Republik Korea dan Vietnam. Selain itu, pantun terdaftar dari Indonesia dan Malaysia.

Lantas, apakah Indonesia akan menominasikan kebaya sendiri atau dengan negara lain?. “Belum diputuskan,” kata Hilmar. “Memang sekarang ini ada diskusi mengenai itu karena Malaysia juga sudah punya rencana ya mengajukan kebaya sebagai warisan.”

Pengakuan UNESCO Bukan Pemberian Hak Cipta

Terlepas dari itu, Hilmar mengingatkan bahwa yang paling penting adalah makna dari daftar tersebut.

Daftar UNESCO yang berjudul “Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity” bertujuan untuk menunjukkan keragaman warisan budaya dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya warisan itu.

Pengakuan UNESCO bukan pemberian hak cipta, tegas Hilmar. “Semangatnya bukan kalau sekarang Indonesia daftar kemudian punya hak eksklusif atas budaya itu, negara lain ngga boleh pakai, bukan! Tapi ini adalah kontribusi dari masing-masing negara dan kebudayaannya terhadap kebudayaan dunia.”

Sketsa Kebaya karya Sonny Muchlison (foto: courtesy).

Sketsa Kebaya karya Sonny Muchlison (foto: courtesy).

Moe menyampaikan pesan senada. Ia mengatakan warisan budaya tak benda dimiliki oleh masyarakat, bukan pemerintah atau negara. “Kami harap proses nominasi tidak akan memicu perselisihan antar komunitas atau negara, tapi justru memupuk kolaborasi dan apresiasi yang sama.” Ia mengimbau nominasi gabungan apabila budaya itu eksis di beberapa negara.

Proses nominasi yang melibatkan beberapa negara bisa dilakukan setiap tahun. Sedangkan nominasi dari satu negara, hanya bisa dilakukan dua tahun sekali. Siklus ini juga menjadi pertimbangan pemerintah, apalagi ada banyak warisan budaya Indonesia yang antre untuk dinominasikan, seperti reog, tempe dan tenun.

Hingga hari ini, terdapat 12 warisan budaya Indonesia yang terdaftar sejak 2008, termasuk tari saman, pinisi dan noken. Saat ini UNESCO sedang dalam proses memverifikasi jamu sebagai warisan budaya Indonesia berikutnya. [vm/em]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Baca Artikel Menarik Lainnya dari Customer.co.id di Google News