TEMPO.CO, Jakarta – Irjen Ferdy Sambo tersangka kasus pemubunuhan Brigadir J atau Nopryansah Yosua Hutabarat. Selama berkarier di kepolisian, Ferdy Sambo tercatat terlibat dalam penyelidikan beberapa kasus. Salah satunya dalam kasus penerbitan surat jalan palsu Djoko Tjandra yang menyeret dua petinggi Polri saat itu yaitu Brigjen Prasetyo Utomo dan Irjen Napoleon Bonaparte terkait red notice dan suap.

1. Kasus Korupsi dan Pelarian Djoko Tjandra

Djoko Soegiarto Tjandra alias Joe Chan merupakan seorang pengusaha sekaligus buronan korupsi Indonesia. Pada 2009, sehari sebelum Djoko Tjandra dijebloskan ke penjara karena perannya dalam penggelapan dana perbankan, dia melarikan diri ke Papua Nugini. Selama pelariannya, Djoko Tjandra bahkan sempat menjadi warga negara Papua Nugini (PN). Menteri Luar Negeri PN saat itu, Ano Pala memberikan kewarganegaraan PN kepada Djoko Tjandra meski tak memenuhi persyaratan konstitusional.

Kasus Djoko Tjandra terkait cessie Bank Bali bermula saat Direktur Utama Bank Bali kala itu, Rudy Ramli kesulitan menagih piutangnya yang tertanam di brankas Bank Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUM), dan Bank Tiara pada 1997. Total piutang Bank Bali di tiga bank itu sekitar Rp 3 triliun. Hingga ketiga bank itu masuk perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), tagihan tersebut tak kunjung cair.

Satu dekade lebih berselang, pada 29 Juni 2020, Jaksa Agung Indonesia ST Burhanuddin mengatakan Djoko Tjandra telah berada di Indonesia selama tiga bulan terakhir. Kemudian Djoko Tjandra dijadwalkan muncul di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 7 Juli 2020 untuk sidang pemeriksaan kasusnya. Tetapi dia tidak muncul. Pengacaranya, Anita Kolopaking, mengklaim bahwa dia berada di Kuala Lumpur, Malaysia. Djoko Tjandra dirawat karena penyakit yang tidak dikemukakan.

Sementara itu, Juru bicara Imigrasi Indonesia Arvin Gumilang bersikeras tidak ada catatan Djoko Tjandra terbang ke Malaysia. Secara terpisah, Kepala Biro Pengawasan dan Koordinasi Penyelidik Pegawai Negeri Sipil di Bareskrim Polri, Brigjen Prasetyo Utomo, dilaporkan mengeluarkan surat perjalanan pada 18 Juni 2020. Surat itu memungkinkan Djoko Tjandra terbang dari Jakarta ke Pontianak, Kalimantan Barat pada 19 Juni dan kembali pada 22 Juni.

2. Penangkapan Djoko Tjandra di Malaysia 

Djoko Tjandra merupakan terpidana kasus korupsi hak tagih (cassie) Bank Bali yang kasusnya bermula sejak 1999. Irjen Ferdy Sambo yang saat itu menjabat Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri berpangkat Brigjen Polisi atau Jenderal Bintang Satu ikut dalam penangkapan Djoko Tjandra, terpidana kasus hak tagih (cassie) Bank Bali di sebuah unit apartemen di Kuala Lumpur, Malaysia tahun 2020 lalu.

Ketika itu tersangka korupsi Djoko Tjandra bisa keluar-masuk Indonesia dengan leluasa, dan kemudian diketahui melibatkan oknum di Mabes Polri, Brigjen Prasetyo Utomo.

Penangkapan Djoko Tjandra dilakukan Polri setelah berkoordinasi dengan Polisi Diraja Malaysia (PDRM) yakni Inspektur Jenderal of Police Malaysia Abdul Hamid bin Bador pada 23 Juli 2020. Ferdy Sambo juga turut dalam menangkap Djoko Tjandra setelah berkoordinasi dengan Polisi Diraja Malaysia (PDRM) yakni Inspektur Jenderal of Police Malaysia Abdul Hamid bin Bador pada tanggal 23 Juli 2020 lalu.

Dalam kasus tersebut, Ferdy Sambo menjerat rekannya Brigjen Prasetijo Utomo yang terlibat penerbitan surat jalan palsu Djoko Tjandra selama menjadi buronan Polri. “Seharusnya setiap anggota Polri yang menjadi penyidik memahami Perkap 6 Tahun 2019,” kata Ferdy Sambo kala itu, menyebut peraturan Kapolri tentang penyidikan tindak pidana.

3. Ferdy Sambo Vs Napoleon Bonaparte dan Red Notice Djoko Tjandra

Ferdy Sambo yang menjabat Kadiv Propam saat itu mengatakan bahwa terdakwa perkara penerimaan suap dari Djoko Tjandra untuk menghapus red notice dan DPO di Imigrasi, Irjen Napoleon Bonaparte masih berstatus polisi aktif. 

“Irjen NB (Napoleon Bonaparte) statusnya masih anggota Polri aktif,” kata Irjen Ferdy Sambo kepada wartawan, 20 September 2020. Sambo mengatakan saat itu Komisi Kode Etik Polri menyiapkan sidang kode etik terhadap Napoleon Bonaparte, apabila putusan terhadap yang bersangkutan telah memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah. “Sebab, diketahui NB mengajukan kasasi setelah Pengadilan Tinggi Jakarta menghukum vonis empat tahun penjara dalam kasus red notice Djoko Tjandra,” kata Irjen Ferdy Sambo. 

Hakim menyatakan Napoleon terbukti menerima Sin$ 200 ribu dan US$ 370 ribu dari Djoko Tjandra. Uang itu diberikan agar Napoleon membantu menghapus Djoko Tjandra dari status daftar pencarian orang sistem Imigrasi.

Penghapusan itu membuat Djoko Tjandra, selaku buronan kasus korupsi cessie Bank Bali bisa masuk ke Indonesia untuk mendaftarkan praperadilan. Vonis Irjen Napoleon lebih berat dari tuntutan jaksa, yaitu 3 tahun penjara. 

Irjen Napoleon membantah telah menerima suap. “Saya lebih baik mati daripada martabat keluarga dilecehkan seperti ini, saya menolak putusan hakim dan mengajukan banding,” kata dia seusai pembacaan vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 10 Maret 2021.

Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri ini sebelumnya mengajukan banding atas vonis 4 tahun penjara dalam kasus suap red notice Djoko Tjandra. 

“Menguatkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 10 Maret 2021 Nomor 46/Pid.Sus-TPK/2020/PM.Jkt.Pst yang dimintakan banding tersebut,” seperti dikutip dari salinan putusan Pengadilan Tinggi pada Rabu, 28 Juli 2021.

Napoleon Bonaparte divonis 4 tahun penjara dalam kasus suap red notice Djoko Tjandra. Selain itu, Napoleon juga dijatuhi denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Selanjutnya: Kronologi kejadian kasus surat jalan palsu Djoko Tjandra


Sumber : news.google.com.

Baca Artikel Menarik Lainnya dari Customer.co.id di Google News