Merdeka.com – Istilah money laundering atau tindakan pencucian uang erat kaitannya dengan tindakan pelanggaran hukum. Tindakan kejahatan ini berhubungan dengan transaksi keuangan yang mencurigakan.

Kejahatan kerah putih ini telah lama menjadi PR bersama negara dan masyarakat karena kerugian yang dihasilkan tidak sedikit dan berimbas pada banyak kalangan.

Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) salah satu alasan pelaku melakukan kejahatan ini karena mereka bisa menikmati hasil kejahatan dengan leluasa. Caranya dengan menyamarkan uang hasil tindak pidana sehingga tampak seperti harta kekayaan yang sah.

Istilah pencucian uang atau money laundering muncul pertama kali pada tahun 1920 di Amerika Serikat. Kala itu para mafia di Negeri Paman Sam memperoleh uang dari hasil kejahatan seperti pemerasan, prostitusi, perjudian, dan penjualan minuman beralkohol ilegal serta perdagangan narkotika.

Para mafia ini kemudian membeli perusahaan yang sah dan resmi. Strategi ini digunakan untuk menggabungkan uang haram hasil kejahatan mereka dengan uang yang diperoleh secara sah dari kegiatan usaha. Tujuannya menutupi sumber dana haram ini agar seolah-olah berasal dari sumber yang sah.

Investasi terbesar mereka berupa perusahaan pencucian pakaian yakni Laundromats yang waktu itu terkenal di Amerika Serikat. Usaha pencucian ini kemudian semakin maju dan berbagai uang hasil kejahatan yang diperoleh ditanamkan pada usaha pencucian pakaian ini.

Sederhananya pencucian uang atau money laundering merupakan upaya menyembunyikan atau menyamarkan uang atau dana yang diperoleh dari suatu aksi kejahatan atau hasil tindak pidana sehingga seolah-olah tampak menjadi harta kekayaan yang sah.

Mengutip dari laman resminya, OJK mendefinisikan pencucian uang sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.

Di Indonesia, tindak pidana ini diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Adapun perbuatan-perbuatan yang menjadi tindak pidana pencucian uang menurut UU No. 8/2010 antara lain:

1. Menempatkan, mentransfer, mengalihkan membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.

2. Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

3. Menerima, menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

Tiga Cara Pencucian Uang

Dalam praktiknya, kegiatan pencucian uang mencakup tiga langkah yang menjadi dasar operasional pencucian uang, yaitu :

1. Penempatan

Tindakan awal dari pencucian uang adalah placement atau penempatan uang. Ini merupakan proses masuknya uang tunai ke dalam sistem finansial.

Pada tahapan ini, pergerakan uang sangat rawan untuk dideteksi. Maka untuk menghindari terdeteksinya pola ini, cara yang biasa dilakukan adalah dengan memecah uang menjadi satuan yang lebih kecil agar tidak mudah dicurigai.

Di samping itu, terdapat cara lain yaitu dengan menempatkan uang tersebut ke dalam instrumen penyimpanan uang yang berbeda-beda seperti cek dan deposito, menyelundupkan uang atau harta hasil tindak pidana ke negara lain, melakukan penempatan secara elektronik, dan menggunakan beberapa pihak lain dalam melakukan transaksi.

2. Lapisan

Layering merupakan aktivitas yang dilakukan untuk menjauhkan uang yang diperoleh dari kejahatan tersebut. Cara yang biasa digunakan adalah dengan membeli aset, berinvestasi, atau dengan menyebar uang tersebut melalui pembukaan rekening bank di beberapa negara.

Di sinilah tempat suaka pajak (tax havens) memperlancar tindak pencucian uang. Defenisi tax havens adalah wilayah tertentu yang menyediakan fasilitas penampungan aset atau investasi asing tanpa kewajiban membayar pajak. Adapun cara lain adalah transfer melalui kegiatan perbankan lepas pantai (offshore banking) serta transaksi menggunakan perusahaan boneka (shell corporation).

3. Integrasi

Integration merupakan upaya menggabungkan atau menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai jenis produk keuangan dan bentuk material lainnya, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Adapun cara yang biasa dilakukan adalah dengan melakukan investasi pada suatu kegiatan usaha, penjualan dan pembelian aset, serta pembiayaan korporasi.

Dalam praktiknya, tindak kejahatan pencucian uang tidak selalu berjalan dengan bertahap. Melainkan dengan saling menggabungkan tahapan kemudian melakukan tahapan-tahapan pencucian uang berulang-ulang kali. Sehingga terjadi proses pencucian uang yang rumit dan melibatkan banyak pihak dan lembaga penyedia barang dan jasa.

Tak heran kejahatan pencucian uang atau money laundering merupakan salah satu kejahatan yang terorganisir dengan rapi. Fakta inilah yang menjadi alasan mengapa kejahatan ini tidak mudah ditangani.

2 dari 3 halaman

Sepuluh Modus Pencucian Uang

Setidaknya ada 10 modus pencucian uang yang banyak digunakan para penjahat kerah putih, antara lain:

1. Smurfing: upaya menghindari pelaporan dengan memecah-mecah transaksi yang dilakukan oleh banyak pelaku.

2. Structuring: upaya menghindari pelaporan dengan memecah-mecah transaksi sehingga jumlah transaksi menjadi lebih kecil.

3. U Turn: upaya mengaburkan asal-usul hasil kejahatan dengan memutarbalikkan transaksi untuk kemudian dikembalikan ke rekening asalnya.

4. Cuckoo smurfing: upaya mengaburkan asal-usul sumber dana dengan mengirimkan dana-dana dari hasil kejahatan melalui rekening pihak ketiga yang menunggu kiriman dana dari luar negeri dan tidak menyadari bahwa dana yang diterima merupakan hasil tindak pidana.

5. Pembelian aset atau barang mewah: menyembunyikan status kepemilikan dari aset atau barang mewah termasuk penagihan aset tanpa terdeteksi oleh sistem keuangan.

6. Pertukaran barang (barter): menghindari penggunaan dana tunai atau instrumen keuangan sehingga tidak dapat terdeteksi oleh sistem keuangan.

7. Underground banking atau alternative remittance services: kegiatan pengiriman uang melalui mekanisme jalur informal yang dilakukan atas dasar kepercayaan.

8. Penggunaan pihak ketiga: transaksi yang dilakukan dengan menggunakan identitas pihak ketiga dengan tujuan menghindari pendeteksian identitas dari pihak yang sebenarnya merupakan pemilik dana hasil tindak pidana.

9. Mingling: mencampurkan dana hasil tindak pidana dengan dana hasil kegiatan usaha yang legal dengan tujuan untuk mengaburkan sumber asal dananya.

10. Penggunaan identitas palsu: transaksi yang dilakukan dengan menggunakan identitas palsu sebagai upaya untuk mempersulit pelacakan identitas dan pendeteksian keberadaan pelaku pencucian uang.

3 dari 3 halaman

Peran Masyarakat untuk Cegah Pencucian Uang

untuk cegah pencucian uang

1. Tegas menolak dana yang tidak diketahui asal usulnya.

2. Tegas menolak untuk menyimpan dana orang lain pada rekening yang dimiliki tanpa kejelasan asal usul sumber dana.

3. Tidak membeli harta yang tidak jelas status kepemilikannya.

4. Tegas menolak pemberian sumbangan dana tanpa kejelasan peruntukannya.

5. Tegas menolak mendanai pembelian bahan kimia berbahaya yang diduga terkait tindakan terorisme.

6. Tidak terlibat dalam pengumpulan dana oleh yayasan bagi kegiatan yang tidak berhubungan dengan fungsi yayasan tersebut

7. Transaksi pengiriman uang melalui sistem transfer wajib memberikan identitas dan informasi yang benar. Mulai dari pengirim asal, alamat pengirim asal, penerima kiriman, jumlah uang, jenis mata uang, tanggal pengiriman uang, sumber dana, dan informasi lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib diberikan ke Penyedia Jasa Keuangan (PJK).

8. Dalam hal transaksi dilakukan untuk kepentingan pihak lain, Setiap orang wajib memberikan informasi mengenai identitas diri, sumber dana, dan tujuan Transaksi pihak lain tersebut.

9. Wajib memberikan identitas dan informasi yang benar yang dibutuhkan oleh Pihak Pelapor dan sekurang-kurangnya memuat identitas diri, sumber dana, dan tujuan Transaksi dengan mengisi formulir yang disediakan oleh Pihak Pelapor dan melampirkan dokumen pendukungnya.

[bim]

Baca juga:
Waspada, Digitalisasi Bisa Tingkatkan Aksi Pencucian Uang
Rincian Kerugian Korupsi Duta Palma Rp78 T, Dari Reboisasi hingga Harga Sawit
Begini Upaya Kejagung Memulangkan Surya Darmadi dari Singapura
Harry Suganda, Buronan Kasus TPPU Senilai Rp400 Miliar Ditangkap
Polri: Banyak Donasi dari Perusahaan Lain Diduga Diselewengkan ACT
Perjalanan Panjang Indonesia untuk Menjadi Anggota FATF
RI Bakal Lebih Mudah Ciduk Uang Koruptor di Luar Negeri Jika Jadi Anggota FATF


Artikel ini bersumber dari www.merdeka.com.

Baca Artikel Menarik Lainnya dari Customer.co.id di Google News