customer.co.id – Sebagian warga Dukuh Singomodo, Sragen mengharamkan nyanyian sinden. Itu terkait dengan mitos yang dipercaya warga secara turun temurun. Bagaimana kisahnya?

Warga Singomodo, Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar, Kabupaten Sragen memiliki kepercayaan yang ada sejak dari leluhurnya untuk tak menggelar mendengarkan nyanyian sinden.

“Ada kampung adat, yang rumahnya menghadap ke selatan semua di RT 05. Kalau ada hajatan nanggap tape (sound system), lidikan (sinden keliling), dan wayangan dilarang. Kalau wayang dalang dan sindennya harus pria, kalau putri tidak boleh,” kata sesepuh di Desa Kandangsapi, Sukarno (65).

Sukarno menjelaskan larangan mendengar musik Jawa itu tidak hanya pada saat hajatan warga saja. Namun juga dalam kehidupan sehari-hari.

Dia menuturkan, tradisi itu sudah dipegang teguh dari nenek moyang mereka. Hal ini tak terlepas dari kisah Syekh Nasher atau Eyang Singomodo, yang merupakan tokoh agama, yang menyebarkan Islam di Desa Kandang Sapi.

Sehingga warga yang paling erat memegang kepercayaan larangan di atas yakni yang bertempat tinggal di dekat makam Syekh Nasher. Makam Syekh Nasher hingga kini masih kerap didatangi peziarah.

“Tradisi itu sudah ada sejak turun-temurun. Jadi oleh sesepuh desa kami tidak boleh. Pernah dibilang untuk menolak bala,” pungkasnya.

Kejadian Aneh Menimpa Orang yang Melanggar

Sejumlah kejadian aneh dipercaya menimpa masyarakat yang melanggar pantangan mendengar nyanyian sinden di Dukuh Singomod. Pantangan ini dipercaya berlaku terutama di kawasan makam Syekh Nasher atau Eyang Singomodo.

Tokoh Masyarakat Desa Kandangsapi, Muhammad Samsul Qomarudin, mengatakan masyarakat di kawasan makam Syekh Nasher takut memiliki TV maupun radio.

“Pernah ada kejadian ada warga memutar langgam Jawa. Dia tiba-tiba hilang, sekaligus radionya. Itu kejadian pada tahun 1990-an,” katanya kepada detikJateng beberapa waktu lalu.

Samsul mengatakan warga tersebut hingga saat ini belum kembali, meski sudah dicari ke mana-mana. Bahkan, warga setempat tidak bisa menjelaskan bagaimana orang tersebut beserta radionya hilang.

Kejadian terbaru, lanjut Samsul menimpa rombongan peziarah dari Purwodadi. Rombongan yang tiba di Singomodo itu lalu naik ke atas ke makam Syekh Nasher untuk berziarah.

Namun sang sopir menunggu di dalam mobil. Tanpa mengetahui adanya pantangan, sopir itu memutar musik Jawa di dalam mobilnya sambil menunggu peziarah turun.

“Saat perjalanan pulang, empat ban mobil itu kempes semua. Untung saja tidak sampai terjadi kecelakaan,” ujarnya.

Selain memutar musik Jawa, pantangan mengenakan busana berwarna hijau daun juga berlaku di areal makam.

Sesepuh Desa Kandangsapi, Sukarno (65), menambahkan kejadian aneh pernah menimpa bakul jamu gendong yang tengah berjalan di areal makam. Bakul jamu itu mengenakan selendang warga hijau untuk mengikat jamunya.

“Ada orang yang jualan jamu gendong, menggunakan selendang hijau lewat di makam, itu jalannya diputar-putar di sekitar makam saja, dia nggak bisa keluar. Baru bisa keluar saat bertemu warga,” pungkasnya.

—–

Artikel ini telah naik di detikJateng dan bisa dibaca selengkapnya di sini.

Baca Artikel Menarik Lainnya dari Customer.co.id di Google News