customer.co.id – Harga minyak sedikit lebih rendah di sesi Asia pada Selasa sore, memperpanjang kerugian hampir dua persen sesi sebelumnya, karena dolar AS yang lebih kuat dan peningkatan kasus COVID-19 di China meningkatkan kekhawatiran akan melambatnya permintaan global.

Harga minyak mentah berjangka Brent tergelincir 21 sen atau 0,2 persen, menjadi diperdagangkan di 95,98 dolar AS per barel pada pukul 06.18 GMT, setelah merosot 1,73 dolar AS pada sesi sebelumnya.

Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) berkurang 31 sen atau 0,3 persen, menjadi diperdagangkan pada 90,82 dolar AS per barel, setelah kehilangan 1,51 dolar AS di sesi sebelumnya.

Dolar mencapai tertinggi multi-tahun pada Selasa, dengan kekhawatiran tentang kenaikan suku bunga dan ketegangan geopolitik meresahkan investor.

Greenback yang kuat mengurangi permintaan minyak karena membuatnya lebih mahal bagi pembeli yang menggunakan mata uang lain.

Kenaikan suku bunga sampai saat ini mulai memperlambat ekonomi dan beban penuh dari kebijakan yang lebih ketat tidak akan terasa selama beberapa bulan mendatang, Wakil Ketua TheFed Lael Brainard mengatakan pada Senin (10/10/2022).

“Data pekerjaan yang kuat telah memperkuat ekspektasi kenaikan suku bunga 75 basis poin lagi pada pertemuan TheFed bulan depan, meninggalkan risiko penurunan untuk permintaan minyak global,” kata analis ANZ Research dalam sebuah catatan.

Kebijakan nol COVID-19 yang berkelanjutan di China menjelang Kongres Partai Komunis “tidak membantu” permintaan, tambah para analis.

Kasus COVID-19 di konsumen minyak terbesar kedua di dunia itu naik ke level tertinggi sejak Agustus. Aktivitas sektor jasa pada September mengalami kontraksi untuk pertama kalinya dalam empat bulan, karena pembatasan pandemi.

Menanggapi peningkatan kasus, pihak berwenang China telah meningkatkan pengujian di Shanghai dan kota-kota besar lainnya, serta memperpanjang waktu karantina dan menutup beberapa ruang publik di mana virus dapat menyebar.

Membatasi kerugian, Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya termasuk Rusia atau OPEC+, memutuskan pekan lalu untuk menurunkan target produksi mereka sebesar 2 juta barel per hari, yang semakin meningkatkan kekhawatiran tentang pengetatan pasokan minyak.

“Yang lebih penting adalah sinyal bullish yang dikirim OPEC+ di sini dengan menanggapi dinamika pasar jangka pendek dan mencoba menstabilkan atau menaikkan harga meskipun pandangan menengah bahwa pertumbuhan permintaan akan melebihi pertumbuhan pasokan untuk sisa tahun ini,” kata Managing Partner SPI Asset Management,Stephen Innes.

“Kami kembali tertatih-tatih mencoba untuk menimbang malaise permintaan ekonomi minggu ini versus pasar yang ketat,” tambah Innes.

Sanksi Uni Eropa terhadap minyak mentah dan produk minyak Rusia akan berlaku masing-masing pada Desember dan Februari, sementara blok tersebut pekan lalu memberikan persetujuan akhir untuk serangkaian sanksi baru terhadap Rusia termasuk pembatasan harga pada ekspor minyak Rusia.

India mempertahankan “dialog yang sehat” dengan Rusia dan akan melihat apa yang ditawarkan menyusul perubahan kepemilikan yang diumumkan untuk proyek minyak dan gas Sakhalin-1, kata Menteri Perminyakan Hardeep Singh Puri kepada Reuters.

Pada Jumat (7/10/2022), Rusia mengeluarkan dekrit yang mengizinkannya untuk merebut 30 persen saham Exxon Mobil dan memberi wewenang kepada perusahaan milik negara Rusia untuk memutuskan apakah pemegang saham asing termasuk ONGC Videsh India dapat mempertahankan partisipasi mereka dalam proyek tersebut.

”Artikel ini bersumber sekaligus hak milik dari website antaranews.com. Situs https://customer.co.id adalah media online yang mengumpulkan informasi dari berbagai sumber terpercaya dan menyajikannya dalam satu portal berita online (website aggregator berita). Seluruh informasi yang ditampilkan adalah tanggung jawab penulis (sumber), situs https://customer.co.id tidak mengubah sedikitpun informasi dari sumber.”

Baca Artikel Menarik Lainnya dari Customer.co.id di Google News