customer.co.id – Korea Selatan tengah menghadapi fenomena baru dalam kehidupan kaum mudanya. Anak- anak muda di sana ramai-ramai pindah ke desa atau kwichon dan mayoritas memilih bekerja sebagai petani .

Pada 2021, sebanyak 378.000 orang pindah ke perdesaan, naik 15 persen dibandingkan 2015. Angka tersebut juga tertinggi dalam sedekade.

Mereka sengaja pindah ke desa karena kehidupan di perkotaan semakin mahal dan sulit terjangkau oleh daya beli mereka.

Harga rumah yang semakin membengkak membuat mereka kesulitan membeli rumah. Dengan realistis, mereka memanfaatkan peluang yang ada demi melanjutkan kehidupan.

Gambaran ini sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di negara kita. Di Korea Selatan, anak muda perkotaan, karena berbagai faktor, ramai-ramai meninggalkan kota untuk menetap dan berkiprah menjadi petani di desa.

Sementara di negara kita, kaum muda perdesaan ramai-ramai pergi ke kota untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik lagi.

Terkait hal itu, Entang Sastraatmadja selaku Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat menyampaikan pandangannya. Tulisannya dimuat dalam artikel yang dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat Edisi 11 Oktober 2022. Kepada pembaca yang bijak lagi bestari, selamat membaca.

***

Beberapa tahun belakangan ini, pemerintah kita mengenalkan Program Petani Milenial. Salah satu tujuannya, mengajak kaum muda kembali menjadi petani dalam suasana kekinian.

Hal itu ditempuh karena muncul fenomena kaum muda di negara kita, baik yang tinggal di desa, apalagi di perkotaan, terekam semakin enggan jadi petani .

Tanda-tanda kaum muda tidak tertarik menjadi petani sebetulnya telah mengemuka sejak puluhan tahun lalu.

Seiring perkembangan zaman, kaum muda kita rupanya semakin mendambakan pekerjaan yang jauh dari hal-hal yang sifatnya kurang sofistikasi.

Bekerja di sawah identik berkubang dengan lumpur. Mereka harus turun ke sawah dan leledokan (berkotor-kotoran). Suatu hal yang berbeda jika mereka bekerja di kantoran.

Jaminan

Kaum muda saat ini berbeda dengan kondisi kehidupan kaum muda masa lalu. Derasnya arus informasi yang disebabkan pergerakan teknologi informasi yang begitu cepat membuat kaum muda semakin cerdas menentukan pilihan hidup yang akan ditekuni.

Mereka semakin paham, menjadi petani padi sekarang sama saja dengan masuk dalam kubangan kemiskinan.

Bahkan, mereka tahu persis, jika pemerintah tidak mampu membuat ”ja­minan”, sekiranya jadi petani padi , dia akan hidup sejahtera dan bahagia.

Jadi petani padi sekarang benar-benar mengundang masalah tersendiri dalam dunia pertanian. Bukan saja kondisinya yang tidak menarik kaum muda untuk berkiprah di dalamnya, tetapi jika dikaitkan dari sisi penghasilan, juga tidak merangsang kaum muda untuk menggelutinya.

Lalu, bagaimana dengan petani milenial yang selama ini dikampanyekan pemerintah sebagai solusi regenerasi petani ?

Berdasarkan pengamatan yang menyeluruh, petani milenial umumnya lebih banyak berkiprah di komoditas hortikultura dan perkebunan.

Akan tetapi, jarang sekali anak muda yang mau berkiprah menjadi petani padi . Kalaupun ada, mereka lebih tertarik menjadi offtaker atau pengusaha ketimbang harus mengolah lahan dan mau untuk kokotoran di sawah ladang. Sisi hulu dalam sistem pertanian dianggap kurang menjanjikan diban­dingkan sisi hilirnya.

Berkiprah menjadi petani padi memang bukan pilihan para pencari kerja baru. Daripada mengolah padi di sawah, anak muda perdesaan lebih suka beramai-ramai datang ke kota besar dan mengadu nasib di sana.

Mereka lebih menikmati menjadi buruh harian lepas di perkotaan ketimbang harus menjadi petani padi .

Kalau mereka tetap harus tinggal di desa, menjadi tukang ojek merupakan pilihan terbesarnya. Dihadapkan kepada fenomena yang tengah berlangsung, wajar dipertanyakan, ada apa sebetulnya dengan petani padi di negeri ini? Kita tentu butuh jawaban yang bernas untuk diselisik lebih dalam.

Kwichon mestinya mampu dijadikan bahan pembelajaran bagi kita dalam merancang strategi pembangunan pertanian yang melibatkan kaum muda.

Selama ini, kalau kaum muda berkunjung ke desa, lebih diniati untuk berlibur atau melepas kepenatan perkotaan.

Tidak sedikit di antara mereka yang datang ke desa hanya untuk merasakan sejuknya angin perdesaan.

Jarang dari mereka yang mau menetap di perdesaan sambil bekerja jadi petani . Ada juga mereka yang ngotot datang ke desa hanya ingin menyaksikan tanaman padi yang menguning karena akan dipanen.

Pertanyaannya, mengapa di antara kaum muda perkotaan yang datang ke desa tidak ada yang kwichon seperti di Korea Selatan?

Inilah tantangan pembangunan pertanian padi di negeri ini. Alih generasi petani padi kelihatannya terkendala oleh tidak adanya jaminan pemerintah terhadap kaum muda yang mau berkiprah jadi petani padi .

Kaum muda butuh jaminan, jika mereka bergelut dengan usaha tani padi , mereka tidak akan hidup melarat. Namun, pemerintah perlu meyakinkan mereka, menjadi petani padi itu bakalan hidup sejahtera dan bahagia.

Catatan kritis berikutnya, mampukah pemerintah membuat jaminan yang demikian? Jawabannya tegas, mestinya pemerintah bisa.

Dengan kekuasaan dan kewenangannya, pemerintah dapat mengoptimalkan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada untuk menjawab harapan kaum muda di atas.***

”Artikel ini bersumber sekaligus hak milik dari website pikiran-rakyat.com. Situs https://customer.co.id adalah media online yang mengumpulkan informasi dari berbagai sumber terpercaya dan menyajikannya dalam satu portal berita online (website aggregator berita). Seluruh informasi yang ditampilkan adalah tanggung jawab penulis (sumber), situs https://customer.co.id tidak mengubah sedikitpun informasi dari sumber.”

Baca Artikel Menarik Lainnya dari Customer.co.id di Google News