customer.co.idJakarta, CNBC Indonesia – Pasar tenaga kerja Amerika Serikat (AS) masih sangat kuat meski bank sentralnya (Federal Reserve/The Fed) sangat agresif dalam menaikkan suku bunga. Dalam kondisi normal, hal tersebut tentunya menjadi kabar yang sangat bagus, tetapi kali ini justru menjadi kabar buruk bagi perekonomian dunia.

Departemen Tenaga Kerja AS Jumat pekan lalu melaporkan tingkat pengangguran turun menjadi 3,5% pada September dari bulan sebelumnya 3,7%. Kemudian sepanjang September, perekonomian AS menyerap 263.000 tenaga kerja, tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK) secara total, dengan rata-rata kenaikan upah 5% year-on-year (yoy).

Data tersebut menunjukkan pasar tenaga kerja yang sangat kuat, tetapi justru menjadi masalah besar. Pasar tenaga kerja yang kuat, disertai dengan kenaikan upah yang cukup tinggi maka konsumsi masyarakat akan tetap kuat. Hal ini berisiko menahan inflasi di level tinggi.

“Tingkat pengangguran yang rendah dulu terasa sangat baik. Semua orang yang ingin bekerja akan mendapat pekerjaan. Tetapi kita kini kita berada pada situasi di mana tingkat pengangguran yang rendah menjadi pendorong inflasi,” kata Ron Hetrick, ekonom senior di Lightcast, perusahaan penyedia data tenaga kerja, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (7/10/2022).

Pasar finansial pun merespon negatif, bursa saham AS (Wall Street) langsung rontok. Pada perdagangan Jumat waktu setempat, indeks Dow Jones jeblok 2,11%, S&P 500 merosot 2,8%, dan Nasdaq yang paling parah sebesar 3,8%.

Jebloknya kiblat bursa saham dunia tersebut menjadi indikasi para investor semakin khawatir dengan kondisi perekonomian global.

Seperti diketahui, malapetaka menghantui perekonomian dunia akibat inflasi tinggi. Bank sentral menjadi sangat agresif dalam menaikkan suku bunga guna meredam inflasi. Alhasil, dunia terancam mengalami resesi di tahun depan.

Bank Dunia juga sudah mengutarakan dunia akan mengalami resesi.

“Tiga ekonomi terbesar dunia-Amerika Serikat, China, dan kawasan Eropa- telah melambat tajam,” tulisnya dalam sebuah studi baru, dikutip Jumat (16/9/2022).

Bank Dunia yakin pukulan moderat sekalipun akan memicu resesi global. Bank Dunia pun memperkirakan kenaikan suku bunga akan terus dilakukan hingga tahun depan. Namun, langkah ini tak akan cukup mampu membawa inflasi kembali ke tingkat sebelum pandemi Covid-19.

Lembaga internasional ini pun mengatakan bank sentral mungkin perlu menaikkan suku bunga dengan tambahan 2 poin persentase untuk meredam inflasi.

Tambahan dosis suku bunga tersebut berada di atas kenaikan 2 poin yang sudah terlihat di atas rata-rata tahun 2021.

Bank Dunia mengingatkan bahwa dosis lebih tinggi ini dapat memperlambat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global. Pada 2023, PDB dunia diperkirakan bisa susut menjadi 0,5% setelah terkontraksi 0,4%.

Menurut Bank Dunia, ini akan memenuhi definisi teknis dari resesi global.

Jika inflasi tak kunjung turun, maka stagflasi yang lebih buruk dari resesi akan terjadi. Sebab, saat stagflasi inflasi masih tinggi begitu juga dengan tingkat pengangguran yang berisiko melesat naik.

Masalah ini bisa semakin parah jika The Fed terus agresif dalam menaikkan suku bunga.

Pasca rilis data tenaga kerja tersebut, pelaku pasar melihat The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 3,75% – 4%, dengan probabilitas lebih dari 80%, berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group.

The Fed yang sangat agresif menaikkan suku bunga akan membuat yield obligasi AS (Treasury) dan indeks dolar AS menanjak.

Kenaikan yield Treasury bisa memicu capital outflow dari negara emerging market yang bisa mengganggu stabilitas finansialnya. Sementara indeks dolar AS yang terus melesat naik berisiko membuat mata uang lainnya jeblok.

Alhasil, negara yang sebelumnya tidak mengalami inflasi tinggi bisa mengalami masalah serupa. Malapetaka ekonomi dunia jadi semakin nyata.

Stabilitas nilai tukar mata uang dikatakan menjadi ‘obat’ paling mujarab untuk meredam inflasi, menurut Steven Forbes.

“Tidak ada bank sentral, hampir semua, yang membicarakan stabilitas nilai tukar mata uang. Mereka sedang membuat perekonomian tertekan untuk memerangi inflasi,” kata bos media Forbes ini, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (26/9/2022).

“Mereka melakukan dengan menaikkan suku bunga. Bisa jadi akan ada banyak PHK, itu bukan obat sebenarnya. Obat sebenarnya adalah menstabilkan nilai tukar mata uang, mereka tidak perlu membuat masyarakat menjadi miskin guna memerangi inflasi,” kata Forbes.

Ketika nilai tukar mata uang merosot, maka harga barang impor, baik itu bahan baku/penolong maupun barang jadi tentunya akan mengalami kenaikan. Hal ini akan mengerek harga-harga dan membuat inflasi melambung.

TIM RISET CNBC INDONESIA

”Artikel ini bersumber sekaligus hak milik dari website cnbcindonesia.com. Situs https://customer.co.id adalah media online yang mengumpulkan informasi dari berbagai sumber terpercaya dan menyajikannya dalam satu portal berita online (website aggregator berita). Seluruh informasi yang ditampilkan adalah tanggung jawab penulis (sumber), situs https://customer.co.id tidak mengubah sedikitpun informasi dari sumber.”

Baca Artikel Menarik Lainnya dari Customer.co.id di Google News