Jakarta: Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menegaskan tidak ada keharusan yang mendesak untuk menghidupkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) melalui konvensi ketatanegaraan. Bahkan, rencana menghadirkan PPHN disebut akan merusak sistem ketatanegaraan.
 
“Tidak ada kebutuhan untuk membuat PPHN. Tapi, kalau ketakutannya ideologi bangsa tentu adanya UUD 45 dan Pancasila sudah baik kok,” ujar Bivitri saat seminar bertajuk Kewenangan MPR Pasca Amendemen UUD 1945 dalam Pembentukan PPHN di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 15 September 2022.
 
PPHN, kata Bivitri, juga tidak kompatibel dengan sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini. Sehingga, keberadaan PPHN nanti tidak akan memberikan manfaat. 

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


“Jadi saya melihatnya, ini kemauan MPR saja, untuk mengambil kembali power-nya atau kekuatan politiknya yang dulu sudah dikembalikan ke rakyat pada amendemen 1999-2002 yang sebenarnya tidak perlu juga, karena MPR kan hanya ada kalau DPR dan DPD bersidang, bukan lembaga tersendiri seperti dulu. Jadi ini salah kaprah saja karena maunya elite politik,” ujar dia.
 
Di samping itu, Bivitri mengatakan PPHN tidak penting masuk dalam konstitusi karena Indonesia sudah memiliki UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. UU itu sudah mengatur soal rencana pembangunan jangka (RPJ) panjang, RPJ menengah, dan RPJ pendek dari aspek perumusan maupun kontrol.
 
“Bahwa masih ada yang tidak selaras, kesalahan bukan pada dokumen, tetapi dalam pelaksanaannya,” ucap dia.
 
Sementara itu, pakar hukum tata negara lainnya, Zainal Arifin Mochtar, menilai MPR tidak bisa lagi membuat PPHN karena posisinya saat ini. “Amendemen UUD 45 membuat perubahan yang luar biasa. Termasuk kewenangan MPR, dari kedaulatan institusi menjadi kedaulatan konstitusi,” ucap dia.
 

Zainal menyebut MPR tidak lagi dianggap sebagai perwakilan rakyat karena sudah ada DPR dan DPD. “Saya kira MPR tidak lagi pengejawantahan rakyat, maka dalam kapasitas apa MPR membuat PPHN? Apalagi calon presiden kampanye sendiri, maka tidak ada gunanya kalau presiden mengikuti haluan dari parlemen karena punya visi misi sendiri,” jelas dia.
 
Dia menilai kelahiran PPHN sangat berpotensi merusak sistem presidensil yang sudah terbangun di Indonesia. “Kalau PPHN cawe-cawe ke lembaga lainnya dan mengganggu, maka saya akan tolak. Kita kan sudah pakai sistem presidensil. Kalau pakai sistem yang dulu, saya setuju ada PPHN karena dulu presiden dipilih oleh MPR, karena dulu sistem semi parlementer,” tutur dia.
 

(AZF)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Baca Artikel Menarik Lainnya dari Customer.co.id di Google News