Pemerintah Diminta Evaluasi Pungutan Sawit

Jakarta: Masalah di industri sawit tampaknya tak bisa reda begitu saja. Meski harga minyak goreng terpantau sudah turun, namun di sisi hulu justru timbul masalah lain seperti anjloknya harga beli tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani yang rata-rata masih berada di kisaran Rp1.200 per kilogram (kg).
 
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebelumnya menyetop sementara pungutan ekspor sawit dengan harapan menggairahkan kembali ekspor sawit nasional, sehingga pabrik bisa melepas cadangan yang selama ini tersimpan. Sayang, masalah industri sawit sepertinya belum akan tuntas terurai kala pungutan ekspor sawit ini kembali diterapkan awal bulan depan. 
 
“Pemanfaatan dana dari kelapa sawit saat ini bisa dibilang jauh dari kata ‘bagus’ bahkan cenderung ‘kacau balau’,” kata Penliti Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda kepada wartawan, Selasa, 9 Agustus 2022.





Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Ada sejumlah aspek yang menjadi sorotan dan mendasari penilaiannya. Selain tidak tepat sasaran, Nailul Huda memandang pemanfaatan dana sawit ini hanya menguntungkan segelintir pihak.
 
“Sama sekali tidak tepat sasaran dengan kita melihat dana pengelolaan dari kelapa sawit banyak yang kembali pada produsen pengolah dana sawit sekaligus eksportir kelapa sawit. Bahkan ada perusahaan yang untung dari subsidi biodiesel kelapa sawit,” ujar dia.
 
Pemerintah, lanjut dia, hanya fokus pada pengembangan biodiesel dengan porsi yang cukup besar. Di sisi lain, aspek lain seperti pemberdayaan petani malah mendapat porsi yang minim.
 
“Pemanfaatan saat ini lebih banyak digunakan untuk subsidi program biodiesel. Padahal ada sasaran lainnya seperti peningkatan SDM petani, peremajaan sawit, dan lainnya, yang porsinya sangat kecil sekali. Belum lagi untuk porsi lainnya. Jadi alokasi saat ini sangat timpang sekali,” tegas dia.
 

Dibandingkan untuk menyubsidi biodiesel, ia menyebut, dana sawit ini sebenarnya punya peran yang lebih penting sebagai penyeimbang kala harga minyak goreng di tengah masyarakat melambung tinggi. Termasuk ketika harga TBS sawit petani terjun bebas.
 
“Justru petani lah yang berhak mendapatkan keuntungan paling besar dari dana sawit bukan pengusaha. Salah satu contohnya juga bisa dijadikan tools untuk stabilisasi harga minyak goreng atau TBS bagi petani. Jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat luas dibandingkan diberikan ke pengusaha kelapa sawit,” tutur dia.
 
Berangkat dari sana, ia menyarankan agar pemerintah mulai melakukan evaluasi terhadap penerapan pungutan ekspor produk sawit. Nailil Huda mengatakan, evaluasi bukan hanya di perdagangan, tapi dari pemanfaatan dana pungutan dari sawit.
 
Dalam laporan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) pada 2019, disebutkan bahwa pungutan sawit telah berdampak pada penurunan harga TBS di tingkat petani. Terbukti, dengan pungutan USD50 per ton, harga TBS petani telah mengalami penurunan sekitar Rp120-Rp150 per kg.
 
Dalam konteks kekinian, dampaknya pada penurunan harga TBS sawit bisa lebih besar lantaran saat ini besaran pungutan sawit telah mencapai USD200 per kg. Dengan tekanan yang diterima petani imbas pungutan sawit, petani justru jadi pihak yang paling minim menerima manfaat dari dana pungutan sawit tersebut.
 
Sementara itu, Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDP-Sawit) tercatat sudah mengumpulkan dana kurang lebih sekitar Rp137,28 triliun dari potongan penjualan ekpor Crude Palm Oil (CPO) hingga 2021. Penggunaan dana yang dikumpulkan tersebut tidak banyak memberikan dampak kepada petani sawit karena lebih banyak digunakan untuk memenuhi insentif mandatori biodiesel.
 
Total insentif yang diterima oleh produsen biodiesel sekitar Rp110,05 triliun dalam periode 2015-2021 atau mencapai 80,16 persen dari total dana sawit. Sebaliknya, anggaran peremajaan sawit hanya sebesar Rp 6,59 triliun atau setara 4,8 persen, dan anggaran pengembangan SDM (petani) hanya Rp199 miliar atau hanya 0,14 persen dari total dana sawit.
 
Desakan evaluasi penerapan pungutan ekspor sawit atau dana sawit sebenarnya bukan sekali dua kali disuarakan. Yang juga menjadi sorotan adalah soal pelaksanaan penggunaan dana pungutan sawit yang rentan penyelewengan.
 
“Dana pungutan ekspor bukan hanya untuk biodiesel. Tapi prakteknya mayoritas untuk subsidi biodiesel. Artinya dana yang dihimpun tidak kembali ke petani, khususnya untuk pengembangan sember daya manusia dan replanting,” kata Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva.
 
Ia menyebut, pemanfaatan dana sawit berupa pengembangan biodiesel tidak dibuka luas melainkan hanya ke segelintir perusahaan yang ditunjuk lewat skema penunjukan langsung. Hamdan mengingatkan pada 2017 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah merilis pernyataan tentang potensi korupsi pungutan ekspor sawit.
 
“Subsidinya salah sasaran. Dinikmati oleh korporasi besar yang oknum pejabatnya tersangkut kasus korupsi minyak goreng,” tutur dia.
 

(END)

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Baca Artikel Menarik Lainnya dari Customer.co.id di Google News