customer.co.idJakarta, CNBC Indonesia – Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (3/10/2022) hingga menembus Rp 15.300/US$. Inflasi yang semakin meninggi memberikan tekanan bagi Mata Uang Garuda.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,03% ke Rp 15.230/US$. Setelahnya rupiah terpuruk hingga Rp 15.305/US$, merosot 0,52%.

Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 15.300/US$, melemah 0,49% di pasar spot. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak 29 April 2020.

Badan Pusat Statistik (BPS) hari ini juga mengumumkan jika inflasi secara tahunan (year on year/yoy) pada September menembus 5,95%.

“Inflasi ini tertinggi sejak Desember 2014,” kata Kepala BPS Margo Yuwono dalam konferensi pers, Senin (3/10/2022).

Inflasi tinggi pada September juga sesuai dengan perkembangan inflasi di era Presiden Joko Widodo atau Jokowi Sejak menjabat presiden pada Oktober 2014 hingga Agustus 2022, inflasi Indonesia hanya dua kali melewati 1% yakni pada 1,50% (mtm) pada November 2014 dan 2,46% (mtm) pada Desember 2014.

Inflasi periode tersebut melonjak setelah Jokowi menaikkan harga BBM pada 18 November 2014.Setelah periode inflasi tinggi November dan Desember 2014, Indonesia tidak pernah mengalami inflasi di atas 1% hingga Agustus tahun ini.

Inflasi tinggi merupakan masalah utama di dunia saat ini. Presiden Jokowi berulangkali mengungkapkan bahwa inflasi adalah momok terbesar saat ini oleh semua negara di dunia. Pasalnya, banyak negara di dunia yang tersandung akan inflasi tinggi.

Inflasi ini dipicu oleh kenaikan harga pangan hingga energi, dan perang Rusia-Ukraina yang tak pasti kapan berakhir.

“Pertama yang ingin saya sampaikan momok pertama semua negara saat ini inflasi, inflasi semua negara biasanya hanya 1% sekarang 8%, lebih dari 10% dan bahkan ada lebih dari 80 persen, ada 5 negara,” kata Jokowi saat Pengarahan Presiden kepada seluruh Menteri/Kepala Lembaga, Kepala Daerah, Pangdam dan Kapolda di JCC, Jakarta, Kamis (29/9/2022).

Inflasi yang tinggi memang bisa menimbulkan masalah besar. Daya beli masyarakat bisa tergerus yang pada akhirnya menekan pertumbuhan ekonomi. Jika berlangsung lama, maka risiko stagflasi pun menghantui.

Rilis data inflasi tersebut menutupi kabar baik dari dalam negeri. S&P Global hari ini melaporkan aktivitas manufaktur Indonesia yang dilihat dari purchasing manager’s index (PMI) mengalami peningkatan signifikan menjadi 53,7 September lalu, dari bulan sebelumnya 51,7.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di atasnya adalah ekspansi, di bawahnya berarti kontraksi.

Sektor manufaktur Indonesia kini sudah berekspansi dalam 13 bulan beruntun, dan menjadi kabar baik saat negara-negara lain terutama di Barat menghadapi isu resesi.

“Survei terbaru konsisten dengan perkembangan terkuat kesehatan sektor manufaktur Indonesia sejak Januari. Kondisi demand yang kuat membantu membawa pesanan baru ke level tertinggi dalam hampir satu tahun terakhir,” kata Laura Denman, ekonom di S&P Global Market Intelligence.

TIM RISET CNBC INDONESIA

”Artikel ini bersumber sekaligus hak milik dari website cnbcindonesia.com. Situs https://customer.co.id adalah media online yang mengumpulkan informasi dari berbagai sumber terpercaya dan menyajikannya dalam satu portal berita online (website aggregator berita). Seluruh informasi yang ditampilkan adalah tanggung jawab penulis (sumber), situs https://customer.co.id tidak mengubah sedikitpun informasi dari sumber.”

Baca Artikel Menarik Lainnya dari Customer.co.id di Google News