customer.co.id – Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan ­bahasa daerah, kuasai bahasa asing. Tiga poin tersebut merupakan slogan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada kenyataannya, ketiga poin tersebut sering tertukar. Bahasa Indonesia dilestarikan, bahasa asing diutamakan.

Sehari-hari, keberadaan dan penggunaan bahasa Indonesia kian terkikis masifnya penggunaan bahasa asing. Eksistensi bahasa Indonesia juga semakin menemukan tantangan seiring kemajuan zaman dan teknologi.

Salah satu tantangannya adalah penggunaan bahasa ‘gaul’ dan slang. Pada akhirnya, kekhawatiran yang mencuat adalah bahasa Indonesia justru jadi bahasa yang asing.

Contoh kecilnya, penggunaan nama bangunan, kawasan, hingga jalan yang saat ini sering ditemukan menggunakan bahasa asing. Padahal, Indonesia sudah memiliki Perpres Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia yang mewajibkan penamaan banyak hal menggunakan bahasa Indonesia.

Dewan Pengawas Asosiasi Linguistik Terapan Indonesia (ALTI) Eri Kurniawan, PhD mengakui bahwa saat ini kondisi tersebut banyak ditemukan.

“Bahkan, banyak juga nama perumahan yang menggunakan bahasa asing padahal letaknya ada di perkampungan atau kawasan padat penduduk, di pedalaman,” ucap Eri, Jumat 28 Oktober 2022.

Dari sudut pandang sosiologi bahasa (bagaimana bahasa digunakan sebagai konteks sosial), hal itu bisa dipahami. “Bukan berarti benar atau salah,” ujar pakar bahasa dari Universitas Pendidikan Indonesia itu.

Lewat sisi pengguna, kata Eri, bisa dipahami bahwa yang menjadi target adalah khalayak. Penggunaan bahasa sangat berpengaruh terhadap pasarnya. Penggunaan bahasa asing bisa membuat seseorang terlihat lebih cerdas dan terbuka terhadap perkembangan.

“Karena kebutuhan pasarnya, tentu mengikuti selera pasar tetapi pada kenyataannya tidak seperti itu. Yang disukai sekarang adalah bahasa campur sari dan itu diadaptasi, selain pada bahas tutur, juga pada nama tempat, jalan, dan sebagainya,” kata Eri.

Dari sisi kebijakan bahasa atau politik bahasa, Eri mengatakan bahwa perlu ada pembenahan. Sosialisasi yang masif dan dukungan dari pemangku kebijakan agar benar-benar berkomitmen mengutamakan bahasa Indonesia harus dilakukan sambil tetap melestarikan bahasa daerah dan menguasai bahasa asing.

Jika menengok ke belakang, fenomena penggunaan bahasa asing atau penggunaan langgam bahasa campuran bukan merupakan sesuatu yang baru. Bahkan, pada zaman perjuangan kemerdekaan, hal tersebut sudah terjadi.

“Jika dibandingkan dulu, ancamannya tentu lebih besar sekarang. Dengan media sosial, sesuatu yang kecil bisa disebarluaskan secara cepat. Akhirnya, ada pembiasaan. Jadi, secara tidak sadar, kesadaran berbahasa Indonesia yang benar tergerus karena normalisasi itu,” tuturnya.

“Kalau sedang dalam suasana formal, gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kalau sedang di luar negeri atau berbicara dengan orang asing, silakan menggunakan bahasa asing. Namun, dalam konteks di rumah, silakan berbicara menggunakan bahasa daerah atau yang lebih santai,” kata Eri.

Leh uga

Tak dapat dimungkiri, penggunaan bahasa ‘gaul’ semakin sering terdengar seiring kian beragamnya kanal media penyebaran informasi. Tak hanya anak muda yang karena darah remajanya suka segala sesuatu yang informal, kaum dewasa juga sering kali menggunakan bahasa ini.

“Agar lebih awet muda” atau “supaya jadi ABG lagi” adalah alasan pamungkas yang sering dilontarkan.

Beberapa kata gaul sempat menjadi primadona pada zamannya, lalu hilang ditelikung zaman. Misalnya penggunaan kata “ajojing”, “roke”, “boil”, dan sebagainya. Beberapa yang lain, terus memenangi kompetisi dengan zaman. Misalnya, “doi”, “nyokap”, “bokis”, dan lain-lain.

Banyak pula bahasa gaul yang baru muncul beberapa waktu belakangan. Misalnya, penggunaan idiom “ygy”, “bestie”, “MLYT”, “FOMO”, atau “TBL”, dan masih banyak lagi.

Budaya menyingkat kata karena perkembangan teknologi yang kemudian menjadi viral semakin banyak ditemui.

Perubahan bahasa bersifat niscaya. Pun dengan dinamika berbahasa. Artinya, akan selalu terjadi perubahan pada bahasa yang ada.

Ragam bahasa yang tumbuh pada 1928 sudah pasti berbeda dengan ragam yang tumbuh hari ini.

Menurut laman Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bahasa ‘gaul’ atau yang biasa disebut sebagai bahasa prokem adalah bahasa sandi yang dipakai dan digemari kalangan remaja tertentu. Bahasa ini konon berasal dari kalangan preman.

Dalam perkembangannya, bahasa ‘gaul’ bisa dikenali berdasarkan periode tertentu. Namun, belakangan ini perkembangannya terasa lebih cepat. Perkembangan teknologi yang membuat media sosial menjamur begitu hebatnya ikut melesakkan pamor bahasa ini.

Bahkan, beberapa waktu lalu banyak juga yang mengonotasikan bahasa ‘gaul’ dengan bahasa alay. Bahasa ini ditandai dengan susunan angka dan huruf kapital-kecil tak beraturan. Untung saja, fenomena itu segera memudar.

Penggantinya adalah “aliran” cadelisme, yang ditandai munculnya kata-kata semacam “cius miapah”, “leh uga”, “leh anet”, atau “peyuk”.

Hal menentukan apakah istilah itu berusia panjang atau tenggelam oleh waktu, adalah unsur vitalitas bahasa. Artinya, sejauh mana bahasa itu memiliki ruang untuk penuturnya.

Slebew

Pakar Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia Prof. Dr. Dadang Sunendar mengatakan, penggunaan bahasa Indonesia sangat tinggi karena merupakan bahasa tutur yang tidak terbatas.

Sesuatu yang mudah menjadi viral, sering kali menggunakan bahasa yang tidak sesuai dengan kaidah. Banyak pula yang menggunakan kata yang kasar atau tidak pantas diucapkan di depan umum. Ingat saja penggunaan kata “slebew” yang belum lama ini menjadi viral.

Dia memahami, tidak mudah menggunakan bahasa Indonesia dalam standar ragam baku. Kondisi ideal seperti itu pun tak mungkin terjadi. Banyak pula masyarakat yang memahami bahwa ragam bahasa baku hanya dipakai untuk kepentingan akademis atau suasana formal seperti pidato kenegaraan.

Disebutkan Dadang, bahasa ini sedikit banyak berpengaruh terhadap pikiran seseorang. Artinya, cara seseorang berbahasa memengaruhi cara orang itu berpikir. Jadi, bahasa yang diucapkan seseorang, menggambarkan apa yang dipikirkan masyarakat.

Dia mencontohkan, saat ini semakin banyak orang yang saling melontarkan caci maki, menyebar fitnah, agitasi, marjinalisasi, dan penanaman stigma lain lewat media sosial.

Sebagai suatu entitas, kata Dadang, bangsa Indonesia bisa jadi hilang identitasnya jika bahasa Indonesia hilang.***

Baca Artikel Menarik Lainnya dari Customer.co.id di Google News