customer.co.id – Perkembangan bahasa Indonesia meningkat pesat bahkan melebihi bahasa induknya, bahasa Melayu. Bahasa Indonesia memiliki keunggulan historis, hukum, dan linguistik.

Di tingkat internasional, bahasa Indonesia telah menjadi bahasa terbesar di Asia Tenggara dan persebarannya mencakup 47 negara di dunia.

Berdasarkan catatan riset etnolog yang dilaporkan pada Desember 2021, penutur bahasa Indonesia berjumlah 199 juta orang.

Di tengah terus meningkatnya kekeyaan bahasa Indonesia, kini posisinya kian terdesak penggunaan bahasa asing, khususnya Inggris .

Terbukti di sekolah saja guru sudah dipanggil ‘teacher’ dan ibu guru menjadi ‘miss‘. Tak hanya di sekolah, penggunaan bahasa asing juga marak di media massa. Misalnya, penggunaan istilah ‘breaking news‘ dan ‘citizen‘.

Di menu restoran, javanese salad with peanut sauce dibanderol Rp40.000 sedangkan gado-gado hanya Rp 15.000. Ice lemon tea lebih mahal dari es the lemon.

Deep-fried cabbage and carrots with flour dijual lebih mahal dibanding bakwan/bala-bala. Pun demikian dengan sticky rice filled abon with chicken wrapped in banana leaf yang sejatinya adalah lemper.

Kepala Pusat Digitalisasi Pengembangan Budaya Sunda Ganjar Kurnia mengatakan, kondisi kian parah karena di pemerintahan saja penggunaan bahasa Inggris dibiarkan. Salah satunya adalah penamaan Bandung Command Center.

“Kalau penamaan kompleks perumahan dan tempat-tempat komersial bergantung kebijakan pemerintah. Dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia seharusnya memang ada sanksi terkait penggunaan bahasa asing,” katanya, Jumat 28 Oktober 2022.

Ganjar menyebut, kemungkinan ada dua hal yang menyebabkan penggunaan bahasa asing lebih dominan. Pertama, ada pembiaran dari pemerintah. Kedua, masyarakat tidak merasa bersalah.

“Coba diinventarisasi, nama-nama tempat wisata di Jawa Barat saja banyaknya pakai bahasa asing. Hal ini patut dipertanyakan. Siapa konsumennya, apakah benar orang asing atau turis lokal? Untuk mengatasi hal ini, kembali ke pemerintah. Seharusnya, pemerintah tidak memberikan izin kalau menamakan tempat pakai bahasa asing,” kata Ganjar.

Ganjar menegaskan, dengan posisi bahasa Indonesia saat ini telah terjadi penjajahan bahasa. Pasalnya, terjadi upaya-upaya yang terstruktur untuk menghilangkan ciri kedaerahan (toponimi).

Masyarakat awam belum tentu paham. Padahal, penggunaan bahasa asing bisa memperlebar kesenjangan sosial.

“Untuk mengembalikan posisi bahasa Indonesia, pemerintah harus memberikan contoh. Media sosial juga memberi peng­aruh terhadap bahasa Indonesia karena tidak bisa dikontrol. Kalau bahasa Indonesia saja ditinggalkan, apalagi bahasa daerah,” ujar Ganjar.***

Baca Artikel Menarik Lainnya dari Customer.co.id di Google News