customer.co.id – ing mutakhir, Jumat 23 September 2022, KPK menahan Hakim Agung Sudrajad Dimyati .

Hakim Agung Dimyati telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap penanganan perkara Mahkamah Agung.

Lengkap sudah koruptor di Indonesia mulai dari oknum aparat legislatif, eksekutif dan penegak hukum di tataran yang paling Agung.

Itulah yang terjadi di Indonesia, korupsi di segala lini yang sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Penangkapan seperti ini akhirnya akan berwujud sebagai sebuah konfirmasi belaka.

Indonesia sebenarnya dikenal sebagai negara demokrasi yang keren, minimum dalam arti kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan persnya yang luar biasa. Jangan ditanya soal kebebasan di panggung media sosial.

Tidak itu saja, Indonesia sudah memperoleh pengakuan global sebagai negara demokrasi terbesar ke 3 di dunia.

Presiden Federal Jerman Christian Wulff saat menyampaikan kuliah umum di Auditorium Terapung Perpustakaan UI Depok pada Kamis 1 Desember 2011, mengatakan bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah Amerika dan India.

Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia ternyata akan juga dikenal sebagai negara yang menghasilkan banyak koruptor.

Mulai dari pejabat tinggi dalam jajaran legislatif, eksekutif, dan juga di arena pendidikan tinggi dan kalangan penegak hukum: ketua DPR RI, hakim konstitusi, menteri pemuda dan olah raga, ketua DPD, ketua MK, menteri kelautan, rektor universitas dan yang paling mutakhir, hakim agung serta masih banyak lainnya.

Melihat itu semua, maka kesimpulan sederhana yang dapat diperoleh adalah bahwa mereka yang korupsi itu bukan karena kekurangan harta benda, tetapi lebih kepada sifat serakah dan moral yang rendah.

Celakanya lagi beredar berita bahwa para koruptor kelas berat itu masih memiliki kemampuan untuk memperoleh banyak fasilitas mewah di dalam penjara plus keringanan hukuman.

Lebih celaka lagi keringanan hukuman bagi para koruptor yang banyak disoroti berbagai pihak ternyata memang demikian ketentuan yang berlaku.

Itu berarti memang hukuman bagi para koruptor tidak mempunyai daya untuk memunculkan efek jera dan juga apalagi efek pencegahan.

Sudah banyak analisis tentang mengapa korupsi tetap saja terjadi di tengah pujian yang membahana bahwa Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.

Tidak peduli apakah ada hubungannya demokrasi dengan korupsi, akan tetapi realitanya negeri dengan gelar negara ke 3 demokrasi terbesar di dunia cukup produktif menghasilkan koruptor.

Sebenarnya korupsi memang akan berkembang luas di negeri yang tingkat disiplinnya lemah. Disiplin sebuah negeri dengan mudah tercermin dengan terang benderang pada kondisi lalu lintasnya sehari-hari.

Lalu lintas yang semrawut adalah gambaran jelas tidak adanya kesadaran dalam disiplin masyarakatnya. Lampu merah diterabas, busway dengan mudahnya diterobos, berhenti seenaknya di tengah jalan.

Belum lagi sepeda motor yang dengan seenaknya melawan arus, sementara bila ditegur maka mereka murka bersama teman-temannya memaki-maki penegurnya.

Lebih hebat lagi ada kelompok tertentu memiliki privilege untuk dengan mudah menembus kemacetan lalu lintas dengan cara menggunakan “ngoeng ngoeng” membuka jalan. Sebuah hak istimewa yang biasanya hanya dimiliki ambulans dan pemadam kebakaran.

Sekali lagi gambaran lalu lintas yang kacau balau adalah gambaran umum dari apa yang terjadi di tataran birokrasi yang memiliki potensi besar menghasilkan banyak koruptor.

Kunci utama adalah tidak adanya disiplin. Celakanya hingga hari ini tidak terdengar sedikitpun tentang adanya ide menertibkan lalu lintas kita dengan cara menegakkan disiplin.

Tidak ada ide yang menggagas untuk melakukan Gerakan Disiplin secara nasional. Para elite terlihat sudah terlalu sibuk dengan kepentingan masing-masing yang sudah terlanjur masuk dalam kotak pemikiran agenda 5 tahunan.

Apabila muncul keluhan mengenai terus berkembangnya kegiatan korupsi di negeri ini dipastikan akan berhenti pada keluhan itu saja.

Sangat tidak mungkin korupsi akan berkurang dengan kondisi disiplin sosial seperti ini. Disiplin yang rendah, pengawasan yang ala kadarnya dan dilengkapi dengan hukuman yang sama sekali tidak memiliki kekuatan efek jera, adalah sebuah lapangan yang subur untuk menghasilkan para koruptor.

Ajakan untuk menggelorakan gerakan disiplin nasional minimal akan memberikan harapan besar untuk memperbaiki negeri, terutama dalam soal “salah urus” yang berbuah koruptor di segala lini.

Masalahnya adalah siapa yang harus memulainya?

”Artikel ini bersumber sekaligus hak milik dari website kompas.com. Situs https://customer.co.id adalah media online yang mengumpulkan informasi dari berbagai sumber terpercaya dan menyajikannya dalam satu portal berita online (website aggregator berita). Seluruh informasi yang ditampilkan adalah tanggung jawab penulis (sumber), situs https://customer.co.id tidak mengubah sedikitpun informasi dari sumber.”

Baca Artikel Menarik Lainnya dari Customer.co.id di Google News